Mangrove untuk Kesejahteraan Warga

By , Selasa, 18 Agustus 2015 | 11:30 WIB

Mangrove yang tumbuh subur di pesisir Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, menabur mimpi sejahtera bagi warganya. Jika sejahtera hanya diukur dari kepemilikan uang, tentu mimpi itu sudah direngkuh, sebab sebagian warga telah memiliki kapan ikan. Akan tetapi, sejahtera bukan semata-mata soal harta.

Pergulatan menuju sejahtera itu tercuat dari protes Yanto (26), pemuda Karangsong, yang Selasa (16/6) sore, selepas Maghrib luntang-lantung di depan warung ibunya. Tiga rekan, Suhendi (22), Ucok (22), dan Yudi (24), bergerombol duduk di sadel dua sepeda motor yang diparkir di depan warung. Para pemuda desa itu resah dengan pengaturan baru kelompok penggiat mangrove, Pantai Lestari, yang melarang pemuda setempat mengantarkan wisatawan menuju hutan mangrove di seberang. Pantai Lestari adalah kelompok penggiat mangrove di Karangsong.

"Perahu milik ibu saya jadi tidak bisa dipakai untuk mengantar wisatawan ke hutan mangrove. Padahal, saya orang sini. Kenapa tidak boleh mengantarkan wisatawan ke sana. Kalau kelompok mangrove (Pantai Lestari) boleh memungut tiket Rp 10.000 per orang dan mengantarkan mereka ke hutan mangrove, kami hanya memungut Rp 7.000 per orang, dan anak sekolah cuma Rp 5.000 per orang," ujar Yanto, yang tidak lulus SD itu.

Nyamuk pantai yang ganas mulai mengganggu perbincangan. Dengung kekesalan di benak pemuda putus sekolah itu seolah mewakili kesejahteraan semu yang melingkupi desa seluas 341,027 hektar (ha) ini. Dari 5.751 warga Karangsong, terdapat tamatan SMP 306 orang, SMA 256 orang, SD 1.202 orang, serta pernah sekolah/tidak tamat SD 1.099 orang. Hanya 31 orang dari Karangsong mengenyam pendidikan D-1 sampai S-3.

Problem pendidikan salah satunya yang saat ini dihadapi Karangsong. Tak hanya soal urusan tamatan sekolah, tetapi lebih jauh dari itu ialah pendidikan yang menyasar tingkat kesadaran warganya.

Contohnya, Yanto yang tidak terima aturan dari desa dan kelompok mangrove yang dinilai membatasi haknya mencari rezeki. Di sisi lain, pembatasan itu dilakukan semata-mata untuk menjamin kenyamanan pengunjung hutan mangrove.

"Tidak mudah menyadarkan warga yang seperti itu. Saya juga dikecam sana-sini karena terlibat pelestarian hutan mangrove. Saya dikira ambil untung dari hutan ini. Padahal, saya tak mikir uang. Saya memikirkan nasib anak-cucu nanti kalau mangrove habis," kata Eka Tarika, Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat di Kelompok Pantai Lestari.

Sore itu dia mendampingi pengunjung berkeliling hutan mangrove. Satu kelompok wartawan televisi sedang mengambil gambar hutan mangrove Karangsong.

Eka menjadi "guide" dadakan karena tempat wisata yang baru berkembang setahun terakhir itu memang belum memiliki pemandu resmi. Fasilitas pendukung pun belum lengkap, misalnya tempat peristirahatan, pusat informasi, jalan yang layak, sampai tempat makan yang representatif.

Hati Eka tertambat pada rimbunnya mangrove. Setiap hari ia bergulat di hutan itu, sekaligus memberikan penerangan kepada pengunjung. Ia ikut membantu pembangunan jalur trekking dari bambu yang mengitari kawasan bakau. Jalur itu memang dirasakan kurang representatif untuk ukuran tempat wisata, tetapi Eka optimistis kondisi yang ada itu perlahan akan membaik.

!break!

Memulai pelestarian

Keyakinan Eka persis sama ketika ia dan rekan-rekannya dalam Pantai Lestari memulai pelestarian mangrove. Pergulatan itu dipicu oleh abrasi hebat yang menghancurkan dua baris tambak warga pada 2008. Petambak merugi miliaran rupiah. Bersama rekannya, Ali Sodikin dan Dulloh, Eka mulai menanam mangrove untuk mengamankan tambak warga. "Soal uang, kami sudah cukup karena hasil tambak mencukupi. Namun, kalau lingkungan hancur, tambak juga rusak," ujarnya.

Aksi itu awalnya ditentang sebagian warga, tetapi banyak juga yang bersimpati. Sampai kemudian pada 2010, Pertamina ikut menyumbang 10.000 bibit bakau. Pada 2011, Yayasan Kehati juga menyumbang 40.000 bibit. Seluruh bibit itu ditanam dengan cara warga sendiri, tidak mengikuti cara yang diajarkan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang beberapa kali diterapkan di Karangsong.

"Gerhan gagal karena orientasinya hanya menuntaskan proyek. Kami diberi bibit 10.000. Bibit itu dibawa semua dalam sekali kedatangan. Sudah pasti layu semua! Bagaimana mungkin menanam bibit sebanyak itu dalam waktu sehari dengan teknik satu lubang satu bibit. Kami tidak mengikuti cara itu. Dalam satu lubang kami tanami satu bibit dan dua bakal bibit (pro pagul/bibit yang belum berdaun). Kalau bibit utama tidak bisa hidup, dua bibit lainnya bisa menggantikan," kata Dulloh, yang kini menjadi Kepala Desa Karangsong.

Teknik penanaman antisipatif itu berhasil. Setelah delapan tahun, tambak yang tidak produktif serta tanah-tanah timbul telah ditanami mangrove. Luas mangrove Karangsong kini 32 hektar dan akan terus bertambah. Ketinggian pohon mencapai 4 meter.

Setelah hutan terbentuk, abrasi berkurang. Air laut yang masuk ke tambak warga pun lebih bersih karena racun disaring mangrove. Lingkungan segar dan kehidupan warga Karangsong yang dulu kumuh kini membaik.

Citra kesejahteraan yang terwakili pun tak semata-mata soal uang, tapi juga lingkungan yang asri, nyaman, sehat, dan mendukung aktivitas warga serta mendorong terpenuhinya kebutuhan individu dan kelompok.

!break!

Potensi besar

Hutan mangrove itu berisiko ditebangi lagi jika tidak menghasilkan nilai tukar yang dapat dinikmati langsung oleh warga. "Warga tahunya ada uang. Kami mengolah mangrove supaya bisa dikonversi menjadi uang sehingga mangrove tak diganggu," kata Abdul Latif, Ketua Kelompok Jaka Kencana, Desa Pabean Udik, tetangga Karangsong.

Dengan fasilitas dan modal pas-pasan, kelompok ini mulai membuat aneka penganan dari mangrove. Lahirlah keripik dari daun mangrove, sirup dari sari buah mangrove, hingga lulur kecantikan dan kecap biji mangrove. Kini Jaka Kencana juga mengembangkan pakan ikan (pelet) dari biji mangrove.

"Satu botol sirup ini dijual Rp 15.000. Kalau keripik daun Rp 5.000 per bungkus. Andaikata sebatang mangrove diolah, semua bagiannya bisa jadi uang," ucap Latif sembari menunjukkan produknya.

Hutan mangrove yang bertujuan awal untuk ekologi kini makin menarik sebagai kawasan wisata. Wisata mangrove menghasilkan pendapatan sedikitnya Rp 30 juta per bulan dari tiket dan biaya penyeberangan. Banyak warga yang dulu nelayan kini terjun menjadi pramuwisata yang menyeberangkan tamu ke hutan mangrove. "Penghasilan kami dari melaut tak menentu. Di sini, sehari kami bisa mendapatkan Rp 60.000," kata Caniman (33), tukang perahu.

Belum lagi potensi perikanan yang besar dari kawasan mangrove. Hutan mangrove menjadi habitat beragam jenis ikan dan satwa lain. Bukan tak mungkin Karangsong masa depan menjadi pusat pembiakan kepiting.

Mimpi sejahtera agaknya masih bersemi di masa depan, selama hutan mangrove itu dipertahankan. Kesabaran dan ketekunan bisa berbuah manis bagi warga Desa Karangsong.