“Djendela2 dan pintu2 menggetar dan tante dan budjang2 wara-wiri memindahkan beras, hanglo dan barang lain...,” tulis Tio Tek Hong dalam memoarnya. Dia juga menyaksikan, “Djalan-raja dan genteng rumah2 di Pasar Baru penuh abu berwarna abu2, bertumpuk sampai beberapa centimeter tebalnja.”
Ketika Batavia berselimut abu vulkanik, usia Tio baru enam tahun. Bersama teman-temannya, Tio justru membuat gundu-gundu dari abu yang dibasahi air. Dia lahir dan hidup di kawasan pecinan Pasar Baru. Sejatinya, Batavia cukup aman dari letusan Krakatau lantaran berjarak 153 kilometer dari pusat petaka.
Tio Tek Hong dikenang sebagai pengusaha yang sohor atas penerbitan kartu pos dan piringan hitam pertama seantero Hindia Belanda. “Toko Tio Tek Hong” merupakan warisan masa emasnya yang berada di seberang pintu air Pasar Baru.
Di tepian sodetan kali Ciliwung di Pasar Baru, dia menyaksikan banyak orang memperkuat gili-gili—bantaran sungai—dan menutup lubangnya. Warga khawatir apabila air sungai nantinya meluap.
“Di Pasar Ikan di Kota air di muara telah meluwab dan banjak perahu terdampar kedarat atau hanjut terpukul dan terbawa ombak besar.” Demikian kabar dari teman-teman Tio yang lebih senior tentang keadaan pesisir Batavia. Mereka berkata kepada Tio, banyak batu-batu apung mengambang di Teluk Batavia. Orang-orang ketika itu mengibaratkan, jika di atas batu-batu itu dipasang papan kayu, orang bisa berjalan dari Merak sampai ke Telukbetung!
Tio mengisahkan pengalaman hidupnya itu dalam sebuah buku seukuran saku dengan judul Kenang-kenangan, Riwajat-hidup saja dan keadaan di Djakarta dari tahun 1882 sampai sekarang. Buku memoarnya itu terbit pada 1959 di Batavia.
“Pada kemudian hari barulah saja tahu lebih terang [...],” ungkapnya. “Gunung-api Krakatau di Selat Sunda telah petjah.” Sang ancala di tengah samudra itu mulai terbatuk-batuk pada Mei 1883 dan mencapai puncak murkanya pada 26-28 Agustus 1883.
Kawasan pantai-pantai di Banten dan Tangerang dilanda banjir yang memakan korban jiwa. Menurutnya, permukiman di kawasan pantai habis disapu tsunami dan banyak orang menyangsang di pohon kelapa. Lalu, Tio pun berkisah, kedahsyatan Krakatau telah dikenang dalam sebuah syair gambang kromong “Keramat Karam”.
[Lihat video gambang kromong Keramat Karam]
Suasana ketika Krakatau meletus pada 1883 juga dihimpun oleh Slamet S. dan seorang Lurah Senen bernama Moechtar. Mereka tampaknya bukan saksi mata atas letusan tersebut, namun mereka berkolaborasi menghimpun informasi tentang peristiwa itu dalam Senen 200 Tahun yang terbit pada 1969.
Pada Jumat pagi sekitar pukul 9.00, demikian kisah mereka, Pasar Senen ramai seperti biasanya. Namun, tiba-tiba turunlah hujan abu yang membuat para pengunjung pasar menjadi panik dan bingung karena siang seolah menjadi hilang. “Bukan sadja siang berganti mendjadi malam,” tulis mereka, “bahkan lebih dari itu, gelapnja menutupi pandangan mata lebih gelap daripada waktu malam sehingga satu sama lain tidak bisa mengenali.”
Para pengunjung pasar seolah tak memiliki harapan akan kembalinya siang. “Terdengar suara tangisan manusia,” tulis kedua orang itu. “Malah ada orang jang mengira kedjadian itu adalah hari Kiamat.”
Slamet S. dan Moechtar juga mengungkapkan bahwa Batavia diselimuti hujan abu kembali pada 1912 dan 1918, namun peristiwa itu tidak menimbulkan kegemparan lagi.
Krakatau menggelegar dahsyat pada Senin, 27 Agustus 1883. Gelegar itu telah meruntuhkan kaldera Danan dan Perbuwatan, dan hanya menyisakan Gunung Rakata. Lonjakan piroklastik jatuh hingga 40 km jauhnya dan mencapai pantai Sumatra. Letusan ini, menurut ahli geologi, merupakan yang terbesar ketiga di Indonesia selama sejarah—sebelumnya Samalas dan Tambora. Sebanyak 36.000 orang binasa, sebagian besar akibat gulungan tsunami dahsyat yang menyapu garis pantai sekitar Selat Sunda.