Keris sebagai Simbol Kebaharian

By , Kamis, 13 Agustus 2015 | 19:00 WIB

Keris dengan corak dan ukuran sangat beragam tersebar di wilayah Nusantara dan negara-negara serumpun di Asia Tenggara. Proses ini mendorong pusaka tersebut menjadi simbol kebaharian.

"Kalau ada keris di Filipina dan Moro, saya melihat itu sebagai hubungan yang saling memengaruhi. Saya yakin tidak akan ada peneliti yang sanggup mengungkap asal-usul keris karena keris itu bagian kebudayaan yang terus mengalir melalui laut," kata Ketua Umum The Bugis Makassar Polobessi Club Ahmad Ubbe, dalam diskusi "Simbolisasi Keris Bahari dalam Keris Bugis" di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (12/8).

Hadir juga pembicara lain, pencinta keris sekaligus mantan wartawan Kompas, Jimmy S Harianto. Pembuat keris Bugis dari Sulawesi Selatan, Panre Amri SB, yang juga dijadwalkan berbicara, berhalangan hadir.

Keris sebagai salah satu produk besi yang dibawa pelaut-pedagang dalam pelayarannya ke berbagai wilayah. Ahmad Ubbe menjelaskan, ketersediaan bijih besi di Sulawesi bagian tengah, Luwu, Banggai, dan Tobungku menjadi faktor berkembangnya pengetahuan dan teknologi peleburan bijih besi.

Pengekspor besi

Sejak abad ke-14, wilayah di sekitar Danau Matano atau hulu Sungai Kalaena tidak hanya menjadi penghasil bijih besi laterit dengan kandungan besi sampai 50 persen. Tempat ini juga menjadi pelabuhan pengekspor besi dan peralatan besi ke Barat dan Timur.

Ubbe, mengutip pernyataan Arung Mato (Raja Ketua) Wajo, La Maddukelleng, Sultan Pasir, Arung (Raja) Penekki dan Singkang, Petta Pamaradekaengngi Wajo, Tuan Kita Yang Memerdekakan Wajo (1736-1754), modal utama merantau hingga merajai beberapa kerajaan di Nusantara karena kemujuran dan doa, disertai ujung lidah yang lembut, kejantanan, dan ujung keris yang runcing dan tajam.

!break!

"Keris turut disebutkan dalam sebuah perantauan di Nusantara," kata Ahmad Ubbe.

Kebiasaan orang Bugis-Makassar membawa keris dan tombak dicatat dalam buku perjalanan Tome Pires (1513). Orang- orang Bugis-Makassar yang ditemui Tome memakai keris di pinggang dan tombak di tangan.

Selain melalui pelayaran dan perniagaan, keris atau senjata tajam lain menyebar melalui aktivitas budaya, seperti untuk pemberian hadiah antarkeluarga raja atau negara sahabat. Bahkan, peperangan pun menjadi sebab penjualan dan pembelian keris dan bentuk lain Polobessi mengalami perkembangan.

"Polobessi itu bermakna sebagai besi tempa yang dimuliakan," kata Ahmad Ubbe.

Berdasarkan kepercayaan masyarakat, besi dari Luwu diyakini memiliki kemampuan untuk menjinakkan ombak, membelokkan angin, dan menjinakkan hantu laut. Kepercayaan masyarakat ini menjadi bagian dari kebudayaan pula.

Pembuatan keris Bugis

Jimmy S Harianto memaparkan, keris bugis memiliki keistimewaan di dalam proses pembuatannya. Ia menyaksikan sendiri ketika Panre Amri membuat keris seorang diri dan selesai hanya dalam waktu empat jam.

"Ini sangat berbeda dengan proses pembuatan keris di Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta," katanya.