Teknologi VR Bantu Orang Tua Ini Pahami Prosedur Operasi Anak

By Maria Gabrielle, Sabtu, 27 November 2021 | 13:00 WIB
Teknologi realitas virtual digunakan untuk operasi. (Pixabay)

Nationalgeographic.co.id - Archie Michnowiec, putra dari Amanda dan Judd Michnowiec terlahir dengan kondisi tidak biasa. Bayi asal Inggris itu memiliki catat lahir yang disebut Sinotosis Sagittal.

Dilansir dari BBC, kondisi ini menyebabkan tengkorak Archie tidak bertumbuh sebagaimana mestinya seiring dengan pertumbuhan otak. Tidak bisa bertumbuh ke samping, tengkorak bayi enam bulan itu tumbuh ke depan dan belakang. Kondisi ini menyebabkan distorsi pada bentuk kepalanya.

Sebagai orang tua, Amanda dan Judd Michnowiec menghadapi keputusan sulit. Mereka harus memilih jalur operasi yang beresiko atau membiarkan hal ini terjadi tetapi dampak fisik dan psikologis menghantui di masa depan.

Pada dasarnya kondisi yang dimiliki Archie tidak mengancam jiwa, tetapi kondisi ini dapat menyebabkan keterlambatan bicara serta meningkatnya tekanan pada rongga kepala. Berkat teknologi baru realitas virtual (VR), Amanda dan Judd dapat melihat perubahan apa yang akan terjadi pada anaknya. Realitas virtual memungkinkan orang tua Archie mendapatkan lebih banyak informasi mengenai kondisi anak mereka.

"Ini cukup luar biasa. Ada banyak pertemuan (dengan dokter) dan banyak waktu libur (dari pekerjaan),” kata Amanda kepada BBC.

Baca Juga: Apa Alasan Anak Kecil Menulis Beberapa Huruf dengan Terbalik ?

Potret Amanda dan putranya, Archie. (BBC)

Oleh karena itu, Amanda dan Judd tidak berpikir dua kali ketika Great Ormond Street Hospital for Children, London, menawarkan kesempatan untuk menjadi yang pertama menggunakan terobosan baru kecerdasan buatan (AI). Menggunakan teknologi ini, mereka bisa memprediksi hasil dari operasi kepala Archie melalui realitas virtual.

Pada pertemuan perdana, visualisasi secara detail ditampilkan melalui realitas virtual. Mereka bisa melihat rekonstruksi kepala Archie yang dihasilkan CT Scan dari semua sudut. Lalu seperti apa kepalanya setelah operasi pembentukan kembali selesai.

Algoritma yang diperlukan untuk memvisualisasikan operasi kepala Archie dimungkinkan dengan memanfaatkan data dari 60 operasi selama tujuh tahun terakhir. Banyaknya informasi yang diterima membuat kedua orang tua Archie semakin mantap akan pilihannya.

Teknologi juga tidak membatasi Amanda dan Judd untuk melihat dan memahami perbedaan apa yang terlihat setelah operasi. Mereka juga didorong untuk memberikan saran modifikasi pada ahli bedah.

Dr. Noor Ul Owase Jeelani, seorang konsultan ahli bedah saraf anak di rumah sakit tersebut mengatakan melalui teknologi ini kedua orang tua Archie memiliki gambaran yang lebih jelas tentang apa yang akan terjadi.

“Apa yang saya harapkan sebagai seorang ahli bedah dalam 10 atau mungkin 20 tahun mendatang adalah bahwa sebagian besar praktik bedah dilakukan dengan cara ini. Di mana kontrol sangat banyak diberikan kepada orang tua dan pasien" tutur Dr. Noor Ul Owase Jeelani.

Visualisasi kepala Archie sebelum (bagian abu-abu) dan sesudah (bagian hijau) operasi. (BBC)

Operasi yang dijalani oleh Archie melibatkan penyisipan pegas kecil ke dalam tengkoraknya, bertujuan untuk memperbaiki bentuk kepala. Penempatan dan manfaat dari pegas ini juga sudah divisualisasikan pada VR. Setelah empat minggu, pegas dilepaskan.

Teknik penggunaan pegas ini ditemukan oleh Dr. Jeelani 13 tahun lalu, tidak hanya mengurangi waktu operasi secara signifikan, tetapi juga mengurangi transfusi darah hingga 90 persen. Hasilnya, membuat data dapat digunakan untuk visualisasi VR dengan akurasi 90 persen. Sementara teknologi tersebut dibuat untuk satu kondisi tertentu, diharapkan ke depannya dapat diterapkan pada berbagai jenis operasi.

Baca Juga: 'Lelaki yang Terlipat', Kisah Pria Bungkuk yang Akhirnya Berdiri Tegak

Dua minggu setelah operasi, kondisi Archie baik-baik saja. Mendapatkan kesempatan untuk menggunakan realitas virtual dirasakan orang tua Archie sebagai keputusan yang tepat.

Melansir dari Medical Center Development, Universitas Stanford, Anand Veeravagu sebagai Kepala Laboratorium Simulasi Bedah Saraf Stanford dan asisten profesor bedah saraf pernah mengungkapkan pendapatnya tentang penggunaan realitas virtual dalam dunia medis untuk kasus yang berbeda. Menurutnya, teknologi realitas virtual merupakan jendela ke dalam otak, jendela kepada pasien yang akan dioperasi.

Aspek tiga dimensi dari citra yang divisualisasikan realitas virtual memudahkan perencanaan ahli bedah dan meningkatkan akurasi operasi, dengan tujuan menghasilkan prosedur yang lebih aman. 

“Kita dapat merencanakan bagaimana kita dapat mendekati tumor dan menghindari area kritis seperti korteks motorik atau area sensorik. Sebelumnya, kami tidak memiliki kemampuan untuk merekonstruksinya dalam tiga dimensi; kita harus melakukannya dalam pikiran kita. Menggunakan realitas virtual, ini adalah rendering tiga dimensi,” tambah kata Steinberg selaku profesor dan ketua bedah saraf.