Asal Muasal Tanda Baca pada Tulisan

By , Minggu, 6 September 2015 | 06:05 WIB

Sebagai pembaca dan penulis, kita mengenal secara intim titik, koma, garis miring, dan berbagai tanda baca dalam bahasa tulisan.

Koma, titik dua, titik koma, dan saudara-saudaranya merupakan bagian tak terpisahkan dari penulisan, menunjukkan struktur gramatik, dan membantu kita mengubah tulisan menjadi bahasa lisan atau gambar. Kita akan tersesat tanpa tanda-tanda baca itu (atau setidaknya, akan luar biasa bingung), namun nyatanya para penulis dan pembaca purba bisa mengatasi hal itu selama beribu tahun. Apa yang mengubah benak mereka?

Di abad ke-3 sebelum Masehi, Iskandariah, kota di Mesir yang dibangun orang Yunani kuno, seorang pustakawan bernama Aristophanes sudah merasa saatnya berbuat. Ia adalah kepala staf perpustakaan kota yang sangat terkenal, yang memiliki koleksi ratusan ribu gulungan tulisan, yang sangat makan waktu untuk dibaca.

Terlebih karena diketahui bahwa kaum Yunani kuno menulis naskah-naskah mereka dengan huruf-huruf yang dideret tanpa tanda baca atau spasi dan tanpa pembedaan huruf kecil atau huruf besar. Dari huruf-huruf yang sesak berjejeran itu, terserah pada pembaca untuk menemukan sendiri di mana sedia kata atau kalimat berakhir dan kalimat berikutnya bermula.

Toh ketiadaan tanda baca dan spasi antar kata tampaknya tak menjadi masalah. Di negara-negara demokrasi awal seperti Yunani kuno dan Romawi kuno, tempat para pejabat yang dipilih rakyat berdebat untuk mempromosikan pandangan mereka, pidato yang fasih dan persuasif dianggap lebih penting ketimbang bahasa tulisan. Dan orang harus membentang gulungan naskah sebelum membacakannya di hadapan massa.

Tak banyak orang yang bisa langsung mengerti suatu naskah dengan satu kali baca: tatkala diminta membaca dengan lantang sebuah dokumen yang tak pernah ia kenal sebelumnya, seorang penulis abad ke 2 bernama Aulus Gellius memprotes dan beralasan bahwa ia bisa saja keliru dalam memaknai dan memberi penekanan pada kata-kata dokumen itu. (Ketika seorang pejalan kaki menawarkan diri untuk melakukannya, Gellius akhirnya membacanya juga).!break!

Menghubungkan titik-titik

Terobosan Aristophanes adalah untuk menyarankan bahwa pembaca bisa memberi catatan pada dokumen mereka, menghentikan aliran teks yang tak berkesudahan dengan titik-titik di bagian tengah (·), bawah (.) atau atas (·) dari setiap baris. Bdrmacam titik terhubung dengan jeda pada kalimat yang pendek, menengah, dan makin panjang, dan pembaca bisa menyisipkan penanda dari apa yang disebut koma, titik dua, dan titik. Ini bukan tanda baca seperti yang kita kenal - Aristophanes memperlakukan tanda bacanya lebih untuk menunjukkan jeda sederhana dan bukan penanda tata bahasa - tapi benih awal telah ditanam.

Aristophanes dengan tiga titik yang diperkenalkannya, sebetulnya bisa disebut Bapak Tanda Baca. (Getty)

Sayangnya, tidak semuanya teryakinkan akan nilai penting penemuan baru ini. Ketika Roma mengambil alih orang Yunani sebagai penguasa kekaisaran kuno, mereka meninggalkan sistem 'titik-titik Aristophanes tanpa pikir panjang. Cicero, misalnya, salah satu pembicara paling terkenal di Roma, mengatakan kepada hadirin pidatonya, bahwa akhir kalimat "seharusnya ditentukan bukan oleh jeda pembicara yang mengambil napas, atau tanda yang ditentukan oleh juru tulis naskah, tetapi oleh penakanan irama."

Orang-rang Yunani sendiri, pada abad ke dua Masehi juga meninggalkan tanda baca titik-titik itu. Mitos tentang bicara di depan umum adalah disuarakan dengan lantang, dan semua naskah dibacakan keras-keras: kebanyakan pakar menganggap bahwa orang-orang Yunani dan Romawi kuno mengatasi ketiadaan tanda baca dengan bergumam dnegan keras saat mereka membaca naskah apapun.

Tulis menulis beranjak dewasa

Munculnya jenis kepercayaan yang berbeda mendorong hidupnya lagi titik-titik Aristophanes dan bahkan berkembang ke arah tanda baca. Seiring runtuhnya Kekaisaran Romawi di abad 4 dan 5, orang-orang pagan Roma mendapati diri mereka terlibat dalam peperangan sia-sia melawan agama baru yang disebut Kristen. Berbeda dengan masyarakat pagan selama ini selalu meneruskan tradisi dan budaya mereka dari mulut ke mulut, orang-orang Kristen lebih suka menuliskan mazmur dan Injil mereka untuk menyebarkan firman Allah dengan lebih baik. Buku menjadi bagian integral dari identitas Kristen, menciptakan huruf berhias dan tanda pemisah paragraf (Γ, ¢, 7, ¶ dan lain-lain), dan banyak tulisan yang meriah dengan ilustrasi lukisan yang rumit dan daun emas.

Seiring penyebarannya di Eropa, agama Kristen mendaya-gunakan penulisan, dan menghidupkan tanda baca. Di abad ke enam, para penulis Kristen mulai memberi tanda baca pada karya-karya mereka sendiri jauh sebelum pembaca membacanya, untuk melindungi makna aslinya. Kemudian, pada abad ke-7, Isidore of Seville (awalnya seorang uskup agung dan kemudian dibeatifikasi menjadi seorang suci, meskipun sayangnya bukan untuk apa yang diperbuatnya untuk tanda baca) menjelaskan versi terbaru dari sistem Aristophanes -ia menata ulang sistem titik-titik berdasarkan ketinggian letaknya untuk menunjukkan jeda baca yang singkat (.), menengah (·) dan panjang (·).

Lebih dari itu, untuk pertama kalinya secara eksplisit Isidore menghubungkan langsung tanda baca dengan makna. Tanda subdistinctio atau titik rendah (.) yang sudah dikristenkan itu tidak lagi cuma menandai jeda sederhana tapi agak merupakan tanda dari koma berdasar ketentuan gramatika; sedangkan titik tinggi, ordistinctio finalis (·), menandai akhir kalimat. Spasi di antara kata-kata muncul segera setelah ini, sebagai penemuan biarawan Irlandia dan Skotlandia yang bosan dan capek dengan keharusan memisah-misahkan kata-kata Latin yang asing. Dan menjelang akhir abad ke-8, di negara Jerman yang baru lahir, raja terkenal, Charlemagne alias Karl (Charles) Yang Agung memerintahkan seorang biarawan bernama Alcuin untuk merancang alfabet terpadu dari huruf-huruf yang, kemudian kita kenal sekarang sebagai huruf kecil. Tulis menulis sudah beranjak dewasa, dan tanda baca adalah bagian tak terpisahkan dari itu.!break!

Memotong-motong tanda

Sesudah titik-titik kecil Aristophanes menjadi hal biasa, penulis mulai memperluas cakupannya. Ada yang meminjam tanda dari notasi musik, terinspirasi oleh nyanyian zaman Gregoria untuk membuat tanda baru seperti punctus versus(dering abad pertengahan untuk titik koma digunakan untuk akhiri kalimat) danelevatus punctus (tanda dalam posisi terbalik ';' yang berkembang menjadi titik koma modern) yang berimplikasi pada perubahan nada serta makna gramatikal. Tanda baru lainnya, leluhur dari tanda tanya disebut punctusinterrogativus, digunakan untuk menekankan pertanyaan sekaligus menandai naiknya nada (Tanda seru baru muncul kemudian, di abad ke-15.)