Nationalgeographic.co.id—Setelah melakukan teror pada 1975, tuntutan orang Maluku di Belanda belum terpenuhi untuk mewujudkan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS). Maka, teror kembali terjadi dua tahun berselang, tepatnya pada 23 Mei 1977.
Dua orang Maluku bersenjata dilaporkan menghentikan kereta api rute Rotterdam ke Groningen hari itu di Assen. Kejadian ini tidak kalah mendebarkan dengan teror yang terjadi sebelumnya.
Meski demikian, banyak orang dalam kereta berhasil kabur, dan pembajak berbaik hati dengan membebaskan beberapa orang tua dan anak-anak, serta menyisakan 50 tawanan di dalam.
Aksi teror juga kembali terjadi beberapa menit setelah pembajakan kereta di mulai. Empat orang Maluku bersenjata masuk ke sebuah SD di Bovensmilde (sekitar 20 kilometer dari Assen). 15 siswa Maluku Selatan di sekolah itu dibebaskan, kecuali lainnya termasuk lima guru yang menjadi tawanan.
Johan Manusama, pemimpin komunitas Maluku di Belanda yang sekaligus presiden RMS langsung merespon cepat aksi itu sebagai "mental rendah" dan tidak "mewujudukan cita-cita Republik Maluku Selatan yang merdeka".
Keesokan harinya, pada teroris menyampaikan tuntutan. Pertama, pemerintah harus membebaskan 14 orang Maluku yang ditahan karena penyerangan konsulat dan pembajakan kereta 1975. Kedua, pemerintah harus menyiapkan pesawat Boeing 747 yang terisi bahan bakar untuk dipakai mereka terbang ke tempat rahasia.
Halaman berikutnya...
Mereka menegaskan permintaan ini harus dipenuhi pukul 2 siang 25 Mei. Jika tidak dipenuhi, para tawanan akan dibunuh. Keseriusan mereka dipamerkan dengan seorang tawanan dengan leher terikat, diarak sekitar kereta.
Saat itu Belanda menjelang Pemilu, perdana menteri Joop den Uyl menanggapinya serangan teror ini dengan bersabar.
"Demokrasi tidak bisa tunduk dengan terorisme," ujarnya. "Kesabaran adalah kata kuncinya, tetapi kami siap untuk menggunakan kekerasan terkontrol jika perlu." Pernyataan ini dukutip dari jurnal Terrorism (1980) oleh Valentin Herman dan Rob van der Laan Bouma dari Faculty of Social Science Erasmus University, Rotterdam.
Menteri Hukum Van Agt mengatakan tidak ada negosiasi sampai semua anak-anak di Bovensmilde dibebaskan.
Tenggat waktu telah lewat tanpa ada apa-apa. 26 dan 27 Mei, para teroris membebaskan semua anak-anak yang sudah sakit parah, bersama seorang guru. Tersisa empat guru yang masih menjadi sandera.
31 Mei, para teroris meminta pemerintah Belanda untuk menyediakan mediator sebagai negosiasi, agar pengepungan bisa diakhiri. Perdebatan di kedua belah pihak untuk menunjuk mediator. Hasil akhirnya baru disepakati pada 3 Juni, yakni Soumokil dan Dr. Hassan Tan.
Baca Juga: Manis Diambil Sepah Dibuang: Nestapa Prajurit KNIL Maluku di Belanda
Negosiasi itu berlangsung selama enam jam di kereta pada 4 Juni. Keesokan harinya, dua wanita hamil dibebaskan dari kereta, dan pada 8 Juni seorang pria sakit juga diizinkan pergi. Tapi negosiasi pada 9 Juni masih berujung buntu meski menghabiskan empat jam pembicaraan.
"Kami akan tinggalkan negara ini atau kami mati," kata para teroris kepada para negosiator.
Tan dan Soumokil berpendapat bahwa "....situasi serius yang sekarang terjadi disebabkan sikap keras kepala kedua belah pihak. Orang Belanda dan Maluku Selatan harus tahu betapa fatal akibatnya." Dr. Tan juga menambahkan, situasi ini menjadi peringatan untuk Belanda yang bisa mengantarkan situasi ini pada perang ras.
Sebagai jawabannya, pemerintah Belanda menganjurkan para teroris untuk melepaskan sandera tanpa cedera. Sebab kekerasan yang muncul, dapat memicu kekerasan balik terhadap komunitas Maluku Selatan yang tinggal di Belanda.
Baca Juga: Alexo de Castro: Orang Maluku yang Ditahan di Meksiko karena Agama
Situasi menegang menjelang akhir minggu ketiga penyanderaan. Pihak aparat sudah kehilangan kesabaran. Ketika fajar menyingsing tanggal 11 Juni, satu detasemen marinir yang didukung pasukan darat, langsung menyerbu kereta. Diikuti pula enam jet terbang di atasnya, dan diikuti penyerangan di sekolah Bovensmilde oleh satu destamen marinir.
Di kereta, aksi tembak tidak terelakkan yang mengakibatkan enam orang Maluku Selatan dan dua sandera tewas. Sementara dua orang marinir, dan satu orang Maluku Selatan terluka. Ada pula dua teroris ditangkap tanpa cedera, bersama seluruh tawanan kereta yang berhasil dibebaskan.
Sedangkan situasi penyerangan di sekolah, aparat berhasil menangkap empat pelaku penyanderaan dan menyelamatkan empat guru yang disandera.
Teror kembali, perpecahan terjadi
Lantas, apakah teror berhenti? Insiden itu terakhir kali terjadi pada 13 Maret 1978 oleh tiga orang Maluku bersenjata menduduki kantor pemerintah provinsi Drenthe. Mereka menyadera 71 sandera, termasuk dua anggota dewan provinsi. Sementara Tineke Schilthuis, Komisaris Ratu untuk provinsi Drenthe yang menjadi target para teroris, berhasil melarikan diri.
Mereka mengumpulkan para sandera, menembak mati seorang pejabat, kemudian melemparkan jasadnya keluar jendela. Penembakan itu juga menyebabkan lima orang luka-luka.
Mereka menuntut hal yang sama dengan yang terjadi setahun sebelumnya, menyediakan pesawat, membaskan kawanan mereka yang ditahan, dengan tambahan menyediakan 13 juta dolar sebagai tebusan. Tuntutan ini harus dipenuhi pada pukul 2 siang, atau sandera akan ditembak secara berpasangan dalam 30 menit.
Baca Juga: De Voormoeders: Kisah Nenek Sejarawan Suze Zijlstra di Hindia Belanda
Menteri Hukum De Ruyter sempat menghubungi para teroris. Dia mengklaim mendengar suara tembakan untuk membunuh sandera pertama selama percakapan, yang ternyata salah dengar. Kekeliuran ini langsung menginstruksikan pasukan anti-teror untuk menyerbu gedung 45 menit setelah berakhirnya tenggat waktu.
Dilaporkan, enam sandera terluka, dan satu anggota dewan provinsi mengalami luka serius di perut hingga akhirnya meniggal di rumah sakit sebulan kemudian.
Perdana Menteri Belanda Van Agt menegaskan dalam The Times 15 Maret 1978, "...jelas bahwa solusi tanpa kekerasan adalah hal yang mustahil dan gagal melanjutkan apa yang kami usahakan, kami akan membahayakan nyawa para sandera secara serius."
Dia juga menghimbau agar orang Belanda tidak menciptakan sentimen kepada komunitas Maluku Selatan di Belanda atas rangkaian aksi teroris. Tapi opini publik berkata lain, insiden itu ternyata menimbulkan ketegangan antar elemen di dalam tubuh komunitas Maluku Selatan sendiri.
Meski perlahan orang-orang Maluku yang merindukan kampung halamannya yang merdeka, menerima Belanda sebagai tanah airnya. Tak sedikit yang masih militan pada saat itu.
Baca Juga: Teror Tahun 1975 di Belanda, Menagih Janji Maluku Selatan yang Merdeka