Mereka yang Dibui Tanpa Jeruji

By , Selasa, 29 September 2015 | 18:00 WIB

Ratusan warga Indonesia terpaksa hidup "mengembara" dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut menyusul Peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Tidak ada angka yang jelas berapa jumlah warga Indonesia yang tidak bisa kembali. Namun pada awal 1960an, ribuan orang dikirim ke luar negeri oleh Presiden Soekarno saat itu untuk melanjutkan pendidikan, sebagai utusan Indonesia dalam organisasi ataupun sebagai diplomat, menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Asvi Warman Adam.

Asvi mengatakan banyak di antara warga Indonesia ini yang "mengembara" dari satu negara ke negara lain setelah paspor mereka dicabut karena "dibayangi ketakutan bahwa mereka akan dipulangkan dan di Indonesia akan ditangkap." (Baca juga Kehidupan Para Eksil)

Sejarawan Bonnie Triyana menyebut mereka sebagai "eksil-eksil yang dibui tanpa jeruji karena sama seperti korban di Indonesia, tak bisa melakukan sesuatu sebebas manusia lainnya."

"Berdasarkan riset saya yang terjadi pada 1965-1966 dan juga 1969, urusan ideologi tak lagi relevan, siapapun yang dianggap bahaya bagi kemunculan Orde Baru dihabisin, apakah dia nasionalis, komunis ataupun kalangan agama," kata Bonnie, Pemimpin Redaksi Majalah Historia.

Inilah pengalaman sejumlah di antara mereka – yang berusia 70an dan 80an dan saat ini tinggal di Belanda.

!break!

Ibrahim Isa, pria bersuku Minang tersebut tinggal di kairo sebagai perwakilan dari AAPSO (Afro-Asian Peoples Solidrity Organization). Pada Januari 1966, Isa berbicara sebagai delegasi Indonesia dalam konferensi Trikontinental di Kuba. Setelah ia berbicara dalam konferensi tersebut, ia menjadi eksil karena pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai agen Gestapu. Dari Kuba, Isa pun mengungsi ke Tiongkok, dan kemudian pindah ke Belanda pada 1987. (Rosa Panggabean/Antara)

Ibrahim Isa, 'Sakitnya dicabut identitas'

“Yang pertama itu adalah penderitaan dari segi harga diri. Ketika paspor saya dicabut dan identitas saya dicabut, seolah nyawa saya sendiri yang dicabut. Sakit sekali.”

“Sejak umur 15 tahun saya terlibat dalam Badan Keamanan Rakyat yang kemudian menjadi Tentara Rakyat. Saya ikut berjuang (melawan penjajahan Belanda). Hidup saya untuk Indonesia. Saya juga pernah jadi guru untuk mendidik, tetapi mengapa sampai begini?”

“Namun kami tak boleh tinggal pada penderitaan. Saya dan banyak teman saya tak ada perasaan balas dendam. Kami sepenuhnya realis. Yang penting bersama-sama menghadapi. Sejak jatuhnya Suharto, ada kemajuan (dari sisi penegakan hak asasi manusia). Saya punya keakinan, kemajuan akan terus terjadi.”

Ibrahim Isa bertugas mewakili Indonesia pada akhir 1960 dalam Organisasi Kesetiakawanan Asia Afrika yang berkantor di Kairo, Mesir, bersama perwakilan dari delapan negara lain.

Isa sempat kembali ke Jakarta dua minggu setelah Peristiwa G30 September meletus untuk menghadiri Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing pada 17 Oktober 1965.