Teka-teki Peristiwa 30 September 1965

By , Rabu, 30 September 2015 | 13:30 WIB

Setelah itu muncul periode di mana angkatan darat dituding bertanggung jawab setelah adanya sebuah buku yang bernama Cornell Paper.

Tidak lama kemudian, pada tahun 1968, terbit sebuah buku tandingan karangan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang kembali menyatakan PKI bersalah.

"Setelah itu mulai periode kedua, itu sejarah resmi Indonesia yang diajarkan itu atau boleh diterbitkan hanya satu versi saja. Versi pemerintah orde baru," kata Asvi Warman Adam.

Pada era reformasi muncul gelombang ketiga di mana orang-orang yang dihukum tanpa proses peradilan mulai bisa bersuara dan mereka dapat memberikan kesaksian.

Saat itu, banyak buku terjemahan yang ketika pada masa orde baru tidak boleh terbit, akhirnya terbit di Indonesia, ungkap Asvi.

"Periode keempat menurut saya adalah ketika muncul narasi baru yang utuh mengenai G30S dengan terbitnya buku John Roosa Dalih pembunuhan massal pada tahun 2008.

Periode terakhir atau kelima adalah periode di mana adanya film dari Joshua Oppenheimer yaitu film Jagal dan Senyap tahun 2012 dan 2014 ketika pelaku sudah mulai berterus terang," tambah Asvi.

Bagi salah seorang eks tahanan politik Nani Nurani, 74 tahun, pelurusan sejarah adalah penting. Nani merupakan seorang penari yang seringkali tampil di hadapan Bung Karno, dituduh merupakan bagian dari Lekra yang merupakan organisasi kesenian dibawah PKI.

"Pelurusan sejarah itu tetep wajib karena terlalu banyak korban yang tidak ngerti apa-apa. Walaupun mereka mungkin anggota PKI tapi kalau mereka gak ngerti apa-apa, ya mereka harus dibersihkan dong namanya," tutur Nani.

Kini 50 tahun setelah G30 S, Nani dan banyak pihak lain masih berharap pemerintah menguak fakta yang sesungguhnya dan meminta maaf kepada mereka yang dihukum pasca tahun 1966 tanpa pernah melalui proses peradilan.