Konflik Manusia dan Gajah yang Tak Kunjung Usai

By , Selasa, 6 Oktober 2015 | 11:30 WIB

“Terakhir, Januari lalu, seorang ibu bernama Husna menjadi korban amukan gajah di Desa Musarapakat, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah,” papar Kepala Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Wilayah II, Aceh, Amri Samadi, S.Hut, M.Si,.

Kejadiannya tiba-tiba, kata Amri mengenang konflik yang menewaskan ibu rumah tangga tersebut.  Sekitar jam 7 malam, gajah sudah berada di sekitar rumah warga pada 24 Januari.  Kawanan gajah berjumlah sekitar 20 hingga 26 ekor.  Tanpa meunggu lama, gajah sudah mengelilingi rumah bu Husna.

Husna yang saat itu berada di dalam rumah langsung panik.  Suainya melarikan diri dari pintu belakang.  Beruntung karena sang suami bisa langsung kabur meminta pertolongan warga.  Rumahnya yang jauh dari pemukiman membuat pertolongan datang terlambat.

Warga desa datang dua jam setelah kejadian.  Mereka menemukan tubuh Husna yang sudah remuk.  Anaknya yang masih bayi tergeletak di bawah pohon, ntungnya tidak ikut terbunuh.  Kawanan gajah meninggalkan tempat itu segera setelah masyarakat datang membawa pertolongan.

Hingga saat ini, lanjut Amri, konflik gajah masih tetap meingntai kawasan tersebut.  Amri juga menceritakan kronologi korban tewas di Desa Blang Rakal di kecamatan yang sama pada Agustus tahun lalu.  Berikutnya, Hasan Basri di Desa Musarapakat juga tewas diinjak kawanan gajah liar pada November 2014.

“Di dalam peta, wilayah tersebut adalah APL (Are Penggunaan Lain) yang ditandai dengan warna putih.  Jadi bukan merupakan kawasan hutan.  Sehingga kami juga agak sulit melakukan tindakan-tindakan pencegahan.  Jalan satu-satuya adalah mencegah agar gajah tidak keluar dari kawasan hutan.  Itu tugas kami,” tegas Amri.

“Akar konflik sesungguhnya adalah soal pemanfaatan ruang,” kata Wild Life Monitoring Coordinator pada Fauna & Flora International Indonesia Programme (FFI IP), Donny Gunaryadi memalui telepon genggam (4/10).

Patroli rutin dilakukan untuk mengantisipasi konflik antara gajah dengan manusia. (Syafrizaldi)

Menurut Donny, gajah memiki ruang jelajah yang sangat luas.  Mereka akan menempuh jalur yang sama dengan jalur yang pernah mereka lalui sebelumnya.  Dalam satu periode, Gajah mungkin saja akan kembali ke jalur semula dengan rentang waktu satu hingga tiga tahun.  Dengan demikian, lanjutya, besar kemungkinan jalur yang semula dilalui gajah sudah dirubah penggunaannya oleh manusia.

“Hanya ada dua hal yang diperlukan oleh gajah, ruang jelajah dan makanan.  Ruang jelajah sangat tergantung pada ketersediaan pakan.  Oleh karenanya, konflik muncul ketika kawanan gajah tidak lagi menemukan sumber makanan alami.  Mereka akan mencari sumber makanan dari tanaman di kebun warga,” jelas Donny.

Gajah, kata Donny, berbeda dengan herbivora lain.  Kebanyakan herbivora dapat menyimpan makanan dalam kantung di perutnya lalu memuntahkannya lagi untuk dimamah beberapa jam kemudian.  Tapi gajah, makanan langsung masuk ke usus melalui lambung dan dua jam kemudian dibuang melalui anus.  Dengan kebutuhan jumlah makanan yang cukup besar, gajah juga memerlukan asupan yang banyak.  Dengan demikian, bentang alam yang cukup luas menjadi konsekwensi logis atas kebutuhan itu.

Donny melansir data yang dikeluarkan oleh Forum Gajah dan Kementerian kehutanan tahun 2014.  Data itu menyebutkan hanya tersisa 1.724 individu dari populasi gajah sumatera yang hidup liar di alamnya.

Koordinator Pawai Global untuk Gajah dan Badak di Banda Aceh (4/10), Danurfan, mengatakan konflik satwa dengan manusia tidak akan pernah selesai jika tidak ada ketegasan semua pihak atas pengelolaan ruang.

“Kalau habitat gajah tidak tersedia, satwa ini akan terus menjadi pengganggu.  Padahal, keberadaan gajah sangat diperlukan sebagai salah satu ikon penting kekayaan hayati di Indonesia,” katanya.