Mengintip Proses Pembuatan Patung Primitif di Yogyakarta

By , Jumat, 16 Oktober 2015 | 17:00 WIB

Selain dikenal sebagai Kota Pelajar dan Pariwisata, Yogyakarta juga terkenal sebagai daerah yang memiliki beragam industri kreatif. Maka tak heran banyak karajinan yang dihasilkan oleh masyarakat Yogyakarta.

Selain kerajinan batik, blangkon, wayang kulit, perak, dan beberapa kerajinan lain yang telah menjadi ciri khas Yogyakarta, terdapat beberapa kerajinan lain, dan satu diantaranya adalah kerajinan patung primitif.

Meskipun patung primitif bukanlah kerajinan asli Yogyakarta, melainkan lebih dikenal sebagai kerajinan Suku Asmat dan beberapa suku lainya, tetapi di Yogyakarta terdapat sentra kerajinan patung primitif yang berada di Dusun Pucung, Desa Pendowoharjo, Kecama­tan Sewon, Bantul.

Purnomo (43), satu di antara warga Dusun Pucung yang menjadi perajin patung primitif mengatakan, sejak awal tahun 1990-an dusunnya memang telah terkenal menjadi produsen patung primitif.

"Awalnya ada seorang pengusaha mebel terkenal, yakni Pak Ambar Polah yang memberikan contoh patung primitif ke warga dan mendorong masyarakat untuk memproduksinya," cerita Purwanto.

Karena produksi patung yang memiliki warna khas hitam tersebut mendapat respons yang baik dari pasar, akhirnya semakin banyak warga dusun Pucung yang menjadi perajin patung primitif.

Awalnya, patung yang dibuat berukuran cukup besar dengan tinggi patung mulai 50 cm hingga 2 meter. Seiring dengan terus berjalannya waktu dan permintaan pasar, saat ini warga Pucung lebih banyak memproduksi patung dengan ukuran kecil dan lebih fungsional serta lebih sederhana.!break!

Jika dulu patung primitif hanya sebagai hiasan, saat ini patung diaplikasikan sebagai tempat tisu, tempat handphone, tempat pulpen, tempat kartu nama, hingga asbak. Meski demikian pesanan patung berukuran besar masih tetap ada.

Untuk bahan baku pembuatan patung, kayu jati dan mahoni menjadi pilihannya. Kedua kayu tersebut cukup keras sehingga tidak mudah pecah maupun rusak saat dibuat patung.

Kayu jati dan mahoni harus melalui beberapa tahapan untuk menjadi sebuah patung yang unik. Untuk patung berukuran kecil, bahan baku kayu dijadikan lembaran papan, kemudian digambari pola. Setelah itu pola tersebut dipotong menjadi bagian-bagian patung yang kemudian akan dirangkai menjadi sebuah patung.

(Hamim Thohari/Tribun Jogja)

Untuk memperoleh kesan kayu yang hitam legam yang menjadi ciri khas patung primitif maka patung yang sudah dirangkai sedemikian rupa dibakar hingga mencapai warna yang dikehendaki.

Proses terakhir adalah patung kemudian dicelupkan kedalam cairan lem lalu diampelas sampai halus, dan kemudian diclear agar terlihat mengkilap dan warnanya tahan lama. Sebagian besar patung produksi warga Pucung ini diekspor ke luar negeri.

"Saat ini negara-negara di Eropa Timur, Timur Tengah, dan Australia adalah pelanggan kami yang masih aktif memesan produk kami," ujar Purnomo.

Saat ini di Dusun Pucung terdapat sekitar 10 Kepala Keluarga (KK) yang masih menggeluti usaha ini. Selain memproduksi patung primitif mereka juga memproduksi meja dan kursi, lemari, hingga beragam miniatur kendaraan.

Untuk harga jual, satu buah patung primitif di jual mulai dari harga Rp 10.000 (patung dengan tinggi 10 cm), sedang yang paling mahal seharga Rp 500.000. "Untuk harga kami sesuaikan dengan ukuran patung dan tingkat kerumitannya," kata Purnomo.

Jika anda berkunjung ke Yogyakarta, tidak ada salahnya singgah ke Dusun Pucung untuk membeli buah tangan berupa kerajinan yang berbeda dan unik. Untuk mencapainya anda bisa melewati jalan Bantul. Di kilometer 7 terdapat SPBU Pucung, di selatan SPBU tersebut anda akan melihat papan nama Dusun Pucung.