Magnet Menyembuhkan Kelumpuhan Lengan pada Stroke.

By , Selasa, 27 Oktober 2015 | 12:00 WIB

Orang yang menderita stroke menghadapi banyak masalah fisik dan emosional dalam proses pemulihan. Tetapi sekarang, ada secercah harapan bagi mereka yang mengalami gejala umum stroke berupa kelumpuhan lengan parsial. Kelumpuhan lengan parsial meninggalkan efek pembekuan anggota tubuh bagian samping, sehingga penderita seperti cacat sisi punggungnya.

Para peneliti telah menemukan bahwa dorongan yang kuat dari energi magnetik ke otak, atau disebut stimulasi magnetik transkranial (Transcranial Magnetic Stimulation /TMS). TMS dapat digunakan sebagai cara untuk mengidentifikasi bagian yang masih utuh, daerah otak yang belum dimanfaatkan ini dapat memulihkan lengan untuk digerakkan. Stimulasi tidak menyembuhkan pasien stroke dari kelumpuhan mereka. Namun karena TMS menimbulkan pergerakan lengan, para peneliti mengatakan ada kemungkinan, dengan-stimulasi jangka panjang, untuk "mengajarkan" otak bagaimana cara menggunakan daerah-daerahnya untuk menggerakkan lengan yang lumpuh.

Rachael Harrington, Ph.D. mahasiswa di Georgetown University Medical Center di Washington, DC, memaparkan penelitian ini Selasa (20/10) pada pertemuan tahunan Society for Neuroscience di Chicago.

Stroke adalah penyebab utama kelima kematian di Amerika Serikat, Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), sekitar 130.000 orang Amerika setiap tahun meninggal karena stroke. Stroke terjadi ketika aliran darah ke otak terputus, sel-sel otak menjadi kekurangan oksigen.

Mayoritas stroke terjadi karena iskemik, yang berarti disebabkan oleh gumpalan dalam pembuluh darah. Hanya sekitar 15 persen stroke terjadi karena hemoragik (yang disebabkan oleh ledakan di pembuluh darah), tetapi stroke jenis ini termasuk 40 persen dari semua kematian stroke, menurut CDC.

Terlepas dari jenis stroke, hampir 90 persen penderita stroke  akan mengalami kelumpuhan ringan sampai parah pada anggota tubuh bagian samping di salah satu sisi tubuh mereka, seperti lengan dan tangan, atau kaki. Pengobatan standar untuk kelumpuhan ini dilakukan secara fisikal, terapi okupasi dan terapi bicara selama beberapa jam setiap minggu. 

!break!

Pada tahun 2012, para ilmuwan di Universitas Victoria di Kanada, menemukan bahwa latihan kekuatan pada bagian tubuh pasien stroke yang  kuat juga memperkuat bagian tubuh yang lemah. Namun, bagi banyak pasien stroke, jumlah latihan tidak bisa menggerakkan kembali bagian tubuh yang sudah terlanjur kaku,

Harrington meneliti efek dari TMS pada 30 pasien stroke, bersama dengan Michelle Harris-Love, seorang profesor dari Universitas George Mason dan direktur Mekanisme Terapi Rehabilitasi Laboratorium di Rumah Sakit Rehabilitasi Nasional MedStar, Washington, DC.

Sebagian dari pasien dalam penelitian ini menderita stroke ringan pada gerakan lengan, dan setengah lainnya menderita stroke parah. Para peneliti meminta pasien untuk meraih sebuah benda saat aba-aba dan menerapkan stimulasi magnetik ke bagian otak yang disebut korteks premotor dorsal. Wilayah tersebut tidak terpengaruh oleh stroke.

Tim peneliti menemukan bahwa TMS memiliki efek yang lebih besar pada kelompok penderita stroke berat, dibandingkan dengan kelompok penderita stroke ringan. Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita stroke berat kemungkinan ada jalur otak tersembunyi yang dapat menjadi target dari TMS dan kemudian merangsang untuk membantu memetakan kembali otak.

Harrington menjelaskan bahwa orang-orang dengan stroke ringan sudah bisa sedikit menggerakkan lengan mereka dengan memasuki daerah otak langsung di sekitar daerah yang terganggu. Tetapi, bagi mereka dengan stroke berat, kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke terlalu luas untuk dilakukkan hal yang sama.

Stimulasi yang ditargetkan, terkait dengan perintah untuk menggerakkan lengan, dapat melatih bagian yang sama sekali berbeda dari otak untuk memindahkan bagian tubuh samping. Para peneliti berharap bahwa, dengan stimulasi berulang, mereka dapat melatih otak untuk mengontrol gangguan lengan.

Idealnya, stimulasi harus dimasukkan ke dalam latihan rehabilitasi standar. Khususnya terapi okupasi, ketika pasien belajar kembali bagaimana melakukan tugas-tugas dasar, seperti menyikat gigi atau menuangkan segelas air, kata para peneliti.