Tiada Kata Menyerah (1)

By , Kamis, 12 November 2015 | 16:00 WIB

Sebuah kebetulan beberapa orang Irian lewat. Mungkin kasihan melihat Pardjo yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat. Setelah beberapa hari dirawat, digotong lagi bersama-sama menyusuri pantai menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak. Di sini ia memperoleh perawatan medis sebelum ditahan. Pada saat penahanan itu ia mendengar melalui radio Belanda bahwa telah terjadi gencatan senjata.

Setelah menjalani interogasi, ia dikirim dengan kapal laut ke Biak dan dari sana dibawa ke penjara di Pulau Wundi. Di sinilah akhirnya ia bertemu pasukan Resimen Pelopor, Kapten Kartawi dengan pasukannya, pasukan Peltu Nana, Serma Boy Tomas, Kapten Udara Djalaludin, Letnan Udara I Sukandar dan kru pesawat Dakota T-440.

Operasi Banteng II

Penerjunan di Kaimana yang pertama terdiri dari tiga pesawat Dakota yang diterbangkan oleh Kapten Udara Santoso dengan kopilot LU II Siboen, LU I Suhardjo dengan LU II M Diran, dan LU I Nurman Munaf dengan LU I Suwarta. Penerbangan ini dipimpin Kapten Santos. Operasi ini menerjunkan satu tim gabungan PGT dan RPKAD (23 RPKAD, 9 PGT dan satu perwira Zeni) di bawah pimpinan Letda Heru Sisnodo dan Letda Zipur Moertedjo sebagai pimpinan penghancur radar di Kaimana.

Setelah istirahat satu malam di Langgur, keesokan harinya tanggal 26 April 1962 pukul 04.45 waktu setempat, tiga Dakota lepas landas menuju sasaran di daerah Kaimana dengan terbang rendah dalam keadaan hujan. Pada saat fajar menyingsing sekitar pukul 05.30, pesawat mendekati daerah sasaran sekitar 10 km dari Kota Kaimana yang terletak di suatu lembah. Pertama-tama diterjunkan adalah logistik, baru kemudian satu persatu pasukan keluar dan mendarat di Kampung Urere.!break!

KU II Godipun masih sempat melihat buih-buih berkejaran di pantaiKaimana sebelum bel tanda persiapan untuk terjun, memecah kesunyian subuh itu. Karena masih gelap, umunya tidak bisa menebak di mana akan jatuh. Yang terlihat hanyalah gundukan hitam yang ternyata adalah hutan belantara dengan pepohonan yang menjulang tinggi bagaikan raksasa. Sampai di sini, malapetaka langsung menimpa mereka.

Hampir semuanya mendarat di puncak-puncak pohon yang tingginya sekitar 50 meter. Karena jatuh terpencar, menyulitkan koordinasi. Situasi in sedikit menguntungkan bagi yang membawa beban ekstra berat, seperti pembawa radio. Karena jika langsung mendarat di tanah, kemungkinan cedera sangat tinggi. Namin dengan mendarat di pepohonan ini, tetap saja tidak menggembirakan buat mereka.

Dropping zone ini mereka ketahui sebagai wilayah Kampung Urere yang alias Pasir Putih. Karena jatuh di atas pohon, banyak di antara anggota mengalami cedera. Seperti KU I Sahudi, payungnya berhenti di antara dua pohon sehingga ia tergantung-gantung seperti buah mangga. Tidak mau hilang akal, Sahudi berusaha mengulur tali yang dibawa agar bisa turun. Rupanya tali yang dibawa sepanjang 30 meter itu tidak menyentuh permukaan tanah. Dia pun memutuskan menjatuhkan ransel perbekalan agar bisa mengira-ngira ketinggiannya. Cukup lama sebelum bunyi benda jatuh di tanah bisa didengarnya. "Pohonnya tinggi sekali," kenang Sahudi.

Hari sudah mulai siang dan badan pun mulai letih karena tidak makan. Tidak mau mati konyol di atas pohon, Sahudi mulai mengayunkan payung agar bisa meraih dahan terdekat. Berkali-kali ia coba namun sebanyakitu pula ia gagal. Tanpa disadarinya, karena terus bergouang, payungnya mulai merosot dari pohon. Sampai akhirnya lepas dan Sahudi pun terpental ke pohon sebelum terhempas di tanah dengan punggung jatuh lebih dulu.

Ia merasakan sakit tak terperikan di punggung, membuatnya nyaris tidak bisa bergerak. Baru kemudian ia sadari bahwa tulang punggungnya patah! Tak jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat rekannya KU I J. Dompas yang terluka dan Pratu Margono dari RPKAD yang mengalami patah kaki. Mereka bermalam di situ selama beberapa hari, dan mendapat bantuan dari penduduk setempat.

Siang itu Belanda mulai mencium kehadiran pasukan gabungan. Gara-garanya setelah pesawat Belanda melintas, pilotnya melihat parasut bertaburan di puncak-puncak pohon. Karena itu Belanda mengirimkan sejumlah polisi yang umumnya direkrut dari putra asli Irian ntuk mengecek kebenarannya.

Untunglah ada penduduk berbaik hati mengabarkan bahwa ada polisi datang. "Tuan besar datang, tuan besar datang," kata mereka. malam itu juga Sahudi dan kedua rekannya meninggalkan kampung kecil itu. Karena sedang sakit, Margono hanya bisa merangkak, sementara Sahudi tertatih-tatih.

Bersambung ke Tiada Kata Menyerah (2)