Hidup jauh dari pusat kota membuat komunitas masyarakat Tugu sengsara. Timbullah keinginan membuat peralatan musik, seperti gitar kecil menyerupai ukulele. ”Ketika dimainkan bunyi gitar ’crong… crong… crong….’ Orang lalu menyebut kami sedang main musik keroncong,” tutur Guido.
Kini, komunitas masyarakat Kampung Tugu dikenal terampil memainkan alat musik. Musik Keroncong Tugu juga terus berkembang. Dari yang awalnya terdiri dari tiga-empat gitar, kini mereka menambahkan suling, biola, gendang, rebana, dan alat musik lain. Lagu-lagu yang dimainkan juga beragam.
Salah satu lagu peninggalan Portugis yang masih eksis adalah ”Durmer Durmir Nenina” (Nina Bobo). Nina berasal dari kata Menina yang artinya ’gadis kecil’, sementara bobo berarti ’tidur’.
Terkepung berbagai kegiatan bisnis di sekitar Kampung Tugu, komunitas masyarakat Kampung Tugu berharap jejak peninggalan Portugis lestari. ”Ini tanggung jawab kita bersama mempertahankan budaya dan peninggalan sejarah,” ujar Guido.
Meskipun Gereja Tugu dan Keroncong Tugu adalah salah satu obyek wisata yang dibanggakan pemerintah, bahkan termasuk dalam 12 destinasi wisata andalan di Jakarta Utara, perhatian terhadap peninggalan bersejarah ini sangat minim.
”Kami mempromosikan Kampung Tugu dalam sejumlah kesempatan, baik melalui promosi langsung maupun website. Meski begitu, melihat kondisi lingkungan, sarana, dan prasarana pendukungnya, harus diakui untuk menjadi destinasi memang belum maksimal,” ucap Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Utara Suwarto.
Tidak adanya akses angkutan umum memadai membuat Kampung Tugu sulit dikunjungi wisatawan. Menurut Suwarto, perlu kerja sama dan koordinasi antarberbagai pihak mencakup penataan kota, perhubungan, pekerjaan umum, dan lainnya agar Kampung Tugu menjadi destinasi wisata yang baik.
Setidaknya dibutuhkan landasan aturan setingkat peraturan gubernur. Semoga saja harapan itu segera terwujud.