Merajut Sumber (Mata) Air di Palue

By , Jumat, 20 November 2015 | 16:00 WIB

Pulau Palue bukan hanya masuk sebagai kawasan rawan bencana.  ketiadaan sumber air alami di permukaan serta tanah yang kering ,membuat pulau Palue semakin tidak layak huni. Kenyataannya, 30% dari luas pulau masih dihuni lebih dari 10 ribu jiwa.

Masyarakat memenuhi kebutuhan air dengan membuat tempat penampungan air hujan. Sedangkan makanan, warga mendapatkan dari berladang dan mencari hasil laut. kebutuhan jenis makanan lain, biasanya dibeli di Ropa atau Maumere.

Instalasi bambu penyulingan di sekitar rumah warga (Herwanto/Kompas TV)

Nitunglea adalah salah satu desa yang terkena muntahan lahar Rokatenda  pada oktober 2013. Pasca amuk Rokatenda, Nitunglea menjadi desa mati. Sisa-sisa material vulkanik menyelimuti desa.

Namun masih ada beberapa warga memilih berdamai dengan kondisi yang serba terbatas. Tres Endai (37) adalah salah satu warga dusun Awa desa Nitunglea.!break!

Sekali dalam seminggu Tres biasa turun ke pantai, untuk mengambil bahan makanan bantuan. sedangkan untuk kebutuhan air, seperti halnya masyarakat pulau Palue yang lain, Tres menampung air hujan. Air dalam penampungan ini dihemat untuk melalui musim kemarau.

Pasca erupsi Rokatenda Oktober 2013, Ibu Toji (56) satu-satunya keluarga yang tinggal di bagian bawah dusun Awa. Selain mendapatkan kiriman uang dari anaknya untuk bertahan hidup, ibu Toji biasa mencari sisa ubi dari ladang-ladang yang sudah ditinggalkan karena erupsi Rokatenda.

Bambu penulingan uap panas bumi (Herwanto/Kompas TV)

Sumber air menjadi barang langka. Jika tak ada hujan yang bisa ditampung ibu Toji dan anjas, cucunya, akan menyeberang ke Ropa untuk membeli air. Cerita tentang mendapatkan air dari batang pohon pisang untuk air minum, berasal dari desa ini. Di desa yang serasa tanpa denyut kehidupan, satu keluarga ini bertahan tanpa fasilitas listrik kesehatan atau pun pendidikan. Tak peduli Rokatenda meletus lagi atau air minum yang sulit didapat, warga Nitunglea dalam kesederhanaan, tetap menatap kehidupan dengan penuh asa.!break!

Menyuling Uap Panas Bumi

Dusun Cawalo adalah salah satu dusun di Koa, yang berada di zona merah, atau wilayah yang masuk kawasan rawan bencana 1, yang hanya berjarak 3 km dari titik erupsi. Dengan kata lain, dusun Cawalo sebenarnya tidak boleh dihuni lagi sejak erupsi 10 agustus 2013. Namun, seperti halnya warga Nitunglea,  warga Cawalo memilih tetap bertahan.

Hilda, salah satu warga Cawalo, baru seminggu kembali dari pengungsian. Hilda dan keluarga mengungsi ke Ropa, sejak 10 september 2013 hingga 9 oktober 2013.

Tetes demi tetes air dari uap panas bumi (Herwanto/Kompas TV)

Sebenarnya, pemerintah telah menghimbau seluruh penghuni pulau Palue, terutama masyarakat yang hidup di zona merah seperti desa Rokirole, Nitunglea  dan Lidi untuk pindah ke pulau Besar. Bagi warga yang menolak untuk dievakuasi, pulau besar tak ubahnya seperti pulau Palue yang berada dalam zona merah. Sebab, tahun 1992 silam pulau besar digulung tsunami, yang menewaskan seluruh penghuni pulau. Hal yang sama akan terjadi lagi, jika pulau Besar diguncang gempa tektonik.

Di desa Cawalo terdapat “tambang emas” Palue yang sebenarnya. Sumber penyulingan air dari uap panas bumi. Sumber air ini sudah dimanfaatkan warga sejak dua puluh tahun lalu.

Bambu sepanjang 10 meter ditancapkan ke tanah dan disambung dengan bambu lain di bagian atasnya. Uap akan naik melalui bambu yang disambung-sambung dan menjadi buliran air yang menetes diujung bambu.  Selama 24 jam  air yang tertampung bisa memenuhi satu jerigen.!break!

Gunung api rokatenda yang masih tergolong gunung muda dan kondisi permukaan tanahnya yang tidak terlalu tinggi, menyebabkan tidak ada sumber air yang muncul ke permukaan. dapur magma Rokatenda yang mendekati permukaan memanasi air di dalam lapisan batuan, sehingga menjadi uap dan keluar melalui rekahan pada permukaan bumi.  Uap inilah yang hingga hari ini dimanfaatkan warga Cawalo untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kerbau untuk persembahan (Herwanto/Kompas TV)

 Penyulingan uap panas yang diinstalasi bambu dalam jumlah besar terdapat di bukit Poa Nua Kaju, di desa Tuanggeo. Tiap sore, iring-iringan anak-anak hingga orang dewasa, berjalan menuju bukit ini, sambil membawa jerigen. Di atas bukit terlihat saujana indah khas Flores. Lekuk perbukitan dengan latar belakang laut Flores. Sore hari bukit Poa Nua Kaju sudah dipenuhi warga yang datang mengambil air. Instalasi bambu yang berjumlah hingga ratusan, menjamin air yang melimpah di wadah-wadah yang sudah disiapkan sebelumnya. Bila di tiba di bukit Poa Nua Kaju, warga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk hanya mengambil air yang dibawa pulang untuk minum dan memasak, tetapi juga untuk mandi dan mencuci.

    Di atas tanah gersang dan bahkan ancaman bencana erupsi gunung Rokatenda, warga Palue tetap menyematkan asa untuk bertahan dan meneruskan hidup di tanah kelahiran mereka. Keterbatasan untuk mengakses dan perjuangan berat mendapatkan air mineral yang vital untuk hidup, tetap mereka lakoni hari demi hari.