Pesona Sajian Kopi Di Takengon

By , Minggu, 22 November 2015 | 08:00 WIB

Bagi para penikmat kopi, tentunya sudah tak asing dengan cara penyajian kalista.  Sebuah bejana kaca transparan, mirip dengan jam pasir.  Di bibir atas bejana, terdapat lekukan tempat menuang air.  Sementara bagian tengah bejana menyempit membentuk pinggang yang ramping.  Bagian pinggang itu, dilapisi dengan pegangan dari bahan plastik.

Saya serasa berada dalam ruang laboratorium kimia ketika alat itu digunakan Erwin Prasetya, pemilik kedai kopi Asli Reje Bukit, ARB.  Dia menempatkan wadah lain berbentuk kerucut terbalik dengan pinggiran yang diikat dengan kawat untuk pegangan.  Di dalam kerucut itu, Erwin menempatkan kertas saring yang juga lancip dengan lekukan-lekukan yang rapi dibagian luarnya.

Erwin menyilakan saya memilih sendiri bubuk kopi mana yang akan diseduh.  Dia menerangkan, ada dua jenis bubuk.  Bubuk kopi, kata Erwin, dibedakan dari cara biji kopi itu diroasting.  Proses roasting, merupakan proses sangrai biji kopi kering menjadi biji kopi yang siap ditumbuk halus.

Saya mencium aroma tajam di salah satu pilihan yang dia suguhkan.  “Aroma harum kopi berasal dari proses roasting yang cukup lama.  Bubuk ini diroasting hingga warna biji berubah dari cokelat menjadi agak kehitaman,” katanya.

Satu jenis lagi, Erwin menyodorkan bubuk berbeda.  Berwarna cokelat lebih muda dari bubuk sebelumnya.  Saya mencium bubuk itu agak dalam, tapi saya tidak menemukan aroma seperti aroma bubuk kopi sebelumnya.  Pilihan saya jatuh pada bubuk ini.

Seorang pelanggan lain justru memilih bubuk kopi dengan aroma yang lebih tajam dan warna yang lebih gelap.  Erwin tersenyum, dia mengatakan pilihan saya tepat.!break!

Bubuk kopi beraroma tajam dan warna lebih gelap, disangrai dengan waktu cukup lama sehingga warnanya kehitaman dan aroma kopinya benar-benar menguar.  Tapi, lanjutnya, justru kopi yang baik untuk tubuh adalah kopi yang disangrai hingga bewarna cokelat atau cokelat kehitaman saja.

Erwin menjelaskan proses itu sementara tangannya menuang bubuk ke dalam wadah kalista.  Dia menyiapkan bejana lain untuk air hangat.  Moncong bejana meliuk seperti leher angsa yang halus.  Ia lantas menuang air mengelilingi bubuk kopi di dalam kalista.  Berhenti sejenak menunggu airnya menyerap, lalu menuang lagi.  Demikian berulang-ulang.

“Air ndak harus mendidih.  Air mendidih justru merusak cita rasa kopi,” katanya. 

Malam itu, empat seloki kalista sudah tenggelam dalam lambung saya.  Tak ada rasa kembung seperti yang dikhawatirkan banyak orang.  Erwin dan beberapa pengunjung lain akhirya asik ngobrol tentang kopi.  Beberapa diantaranya harus pamit karena didera rasa kantuk.

Kopi, kata Erwin, mestinya tidak membuat mata terus melotot kalau proses pengolahan dan penyajiannya tepat.  Kafein yang dikandung kopi, akan membuat tak bisa tidur kalau dikonsumsi berlebihan.  Biasanya, kandungan kafein tinggi dikandung oleh kopi dari jenis robusta.

Penyajian dengan metode Vietnam Drip (Syafrizaldi)

“Arabika lebih rendah (kafein).  Jadi tak perlu khawatir tak bisa tidur,” imbuhnya. 

Saya benar-benar menikmati hawa dingin di dataran tinggi itu.  Apa lagi ada banyak kenalan baru yang senang berbagi.

Kebanyakan orang Gayo, memang punya karakter terbuka yang unik.  Perbedaan adalah hal biasa yang tidak perlu dipertentangkan.  Saya merasakan itu sepanjang petualangan kali ini.

Tak puas dengan kalista, saya meminta Erwin menyeduh kopi dengan V.60 drip.  Kopi disajikan dari wadah kerucut terbalik berbahan plastik.  Di bibir atasnya, Erwi menaruh kertas saring mengikuti arah kerucut itu.

Saya merasakan gelitik rasa kopi yang berbeda dari yang dia sajikan menggunakan kalista.  Ini lebih ringan, sementara rasa asam kopi tak terlalu menggigit kerongkongan.  Rombongan kecil yang duduk semeja dengan saya turut merasakan hal yang sama.

Selain ditentukan oleh jenis dan proses sangrai, rasa kopi teryata juga ditentukan oleh cara penyajiannya.  Erwin memperkenalkan saya dengan cara penyajian lain.

“Ada Vietnam drip yang banyak dipakai di Indonesia.  Di kalimantan, orang jamak menggunakan alat ini,” jelasnya.!break!

Wadah berbentuk mug dengan bagian terpisah di dalamnya untuk menempatkan kopi di dasar mug dan air menekan bagian itu.  Bagian bawah vietnam drip memiliki lubang-lubang kecil untuk melewatkan tetesan air.

Dia menempatkan wadah itu diatas sebuah cangkir.  Saya meminum kopi langsung dari cangkir itu ketika malam sudah mulai mengendapkan embun.

Pencarian saya untuk secangkir kopi nikmat belum berakhir.  Sebuah kedai kopi yang cukup ternama di Takengon memanggil-manggil.  Kedai itu menyediakan kopi arabika dari kebun sendiri.  Sebagian bahan baku kopi, disediakan oleh para petani yang sudah menjalin kerjasama dengan kedai kopi yang mereka beri nama Bergendaal.  “Itu nama belanda,” kata Fitra, barista di warung kopi itu.

Cara penyajian kopi dengan metode Kalista. (Syafrizaldi)

Fitra menyuguhkan secangkir kopi hitam arabika menggunakan mesin pembuat kopi.  Aromanya menyengat saat asap mengepul dari cangkir.  Saya menyeruput lewat pinggiran cangkir yang dipenuhi krema.

“Kalu pakai mesin, kremanya bisa keluar.  Kalau tidak, sulit mengeluarkan krema kecuali memakai alat penekan yang bagus,” kata Fitra.

Krema adalah buih halus yang dikeluarkan kopi ketika mengalami tekanan dan suhu panas dari air.  Banyak barista memanfaatkan ini untuk dijadikan penghias.  Biasanya, krema dicampur dengan susu murni yang hangat guna menghasilkan hiasan pada bagian atas minuman.

Dibanyak tempat, kata Fitra, banyak barista yang mengkhususkan dirinya belajar membuat hiasan.  Saya terbayang sebuah tayangan televisi yang menampilkan hiasan wajah Obama, Presiden Amerika Serikat.  Mungkin suatu saat, saya akan meminta barista untuk membuat hiasan berlogo National Geographics.