Piet Hitam Si Pembantu Sinterklas, Rasisme dalam Budaya Natal Belanda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 8 Desember 2021 | 10:00 WIB
Sinterklas (St. Nicholas) bersama pembantunya berkulit hitam yang disebut sebagai Pete hitam (Zwarte Piet). Budaya menampilkan orang kulit hitam sebagai pembantu dinilai rasisme yang masih bertahan di Belanda. (Michell Zappa/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Natal di Indonesia tak sama dengan di Belanda. Indonesia mengadopsi sinterklas dan kedatangannya saban 25 Desember, yang mengadopsi dari gaya bernatal ala Amerika Serikat. Sedangkan di Belanda, dan Indonesia juga dulu saat dijajah Belanda, Sinterklas (St. Nicholas) datang setiap 5 Desember bersama pembantunya: Piet hitam atau Zwarte Piet.

Piet Hitam digambarkan dengan karakter berkulit hitam, anting emas besar, dan bibir yang besar. Menjelang tanggal 5 Desember, toko-toko di Belanda menjual kostum Piet hitam yang biasanya digunakan oleh orang dewasa kulit putih dengan riasan wajah hitam, untuk mengunjungi rumah dan sekolah anak-anak.

Namun, seiringnya berjalannya waktu, peran Piet Hitam menuai kritik oleh banyak kalangan, karena dinilai rasialis. Aksi protes juga berkembang semenjak aksi Black Lives Matter bergaung di seluruh dunia, termasuk di Belanda sejak 2016. Gaungan aksi Black Lives Matter makin membesar pada 2020 semenjak kematian George Floyd di Amerika Serikat, dan berujung pada penolakan adanya Piet Hitam.

Melansir NOS, protes itu diinisiasi oleh Kick Out Zwarte Piet bersama Black Queer & Trans Resistance NL. Mereka menerangkan, "kekerasan rasis institusional terhadap orang kulit hitam adalah masalah yang juga terjadi di Belanda dan seluruh Eropa" termasuk dalam kemasan Piet Hitam sebagai budaya natal.

"Orang Belanda cenderung berpendapat bahwa Piet Hitam adalah asli Belanda, dan orang lain di luar Belanda tidak memahami budaya kami," terang Mitchell Esajas, aktivis salah satu pendiri New Urban Collective dan Kick Out Zwarte Piet di National Geographic. "Tapi itu bagian dari tradisi internasional terkait stereotip rasial."

Esajas menambahkan, banyak dari lembaga yang mendukung justru sebenarnya tetap saja sama rasialisnya. Kebanyakan organisasi melarang Zwarte Piet malah mengubah citra karakter, seperti munculnya Schoorsteen Piet dalam parade Sinterklas di Amsterdam. Karakter itu dirias sebagai muka yang penuh jelaga hitam dan pakaian berbeda, yang membuat para aktivis anti-Piet tidak puas.

Belum lagi, tekanan para pegiat anti-rasisme ini mendapat respon dari gerakan supremasi kulit putih yang mendukung adanya Piet Hitam. Banyak laporan para wartawan di belanda menerima ancaman pembunuhan karena menulis terkait Zwarte Piet dan aktivis anti-wajah hitam untuk natal itu.