Apakah semua ilmuwan merupakan ateis? Tidakkah mereka percaya bahwa agama dan sains dapat hidup berdampingan?
Pertanyaan-pertanyan semacam ini dibahas dalam survey pertama di dunia tentang bagaimana para ilmuwan memandang agama. Hari ini, hasilnya dirilis oleh para ilmuwan di Rice University.
“Tak seorang pun hari ini yang menyangkal bahwa ada perang populer yang terbingkai antara sains dan agama,” ujar peneliti utama tersebut, Elaine Howard Ecklund, direktur Rice University's Religion and Public Life Program.
Hasil studi menentang asumsi lama tentang antarmuka sains dan kepercayaan. Sementara orang-orang umumnya berasumsi bahwa ilmuwan adalah ateis, perspektif global yang dihasilkan dari penelitian menunjukkan bahwa hal itu tidak benar.
“Lebih dari setengah jumlah ilmuwan di India, Italia, Taiwan dan Turki mengidentifikasi dirinya sebagai pemeluk agama,” ujar Ecklund.
“Yang mengejutkan, ada sekitar dua kali lipat jumlah ateis (55 persen) dari populasi umum Hong Kong, dibanding jumlah ilmuwan (26 persen) di negara tersebut,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai konflik antara agama dan sains, Ecklund mencatat hanya minoritas ilmuwan di setiap regional yang percaya bahwa sains dan agama bertentangan.
Di Inggris—salah satu negara pendidikan yang paling sekular—hanya 32 persen ilmuwan yang menganggap sains dan agama bertentangan, di Amerika Serikat ilmuwan yang beranggapan serupa hanya 29 persen. Sebanyak 25 persen ilmuwan Hong Kong, 27 persen ilmuwan India dan 23 persen ilmuwan Taiwan percaya bahwa sains dan agama dapat berdampingan dan digunakan untuk menolong satu sama lain.
Selain temuan kuantitatif survei, para peneliti menemukan nuansa pandangan dalam respon ilmuwan selama wawancara. Misalnya, banyak ilmuwan menyatakan bagaimana agama dapat memberikan tanda "patokan" di daerah yang abu-abu secara etis.
Ilmuwan lain mengatakan ada beberapa ateisme, beberapa di antaranya termasuk tradisi agama.
“Saya tidak bermasalah pergi ke kebaktian di gereja, karena cukup sering, sekali lagi itu masalah budaya,” ujar fisikawan Inggris yang mengaku sesekali mengikuti kebaktian di gereja karena anaknya menyanyi bersama paduan suara gereja.
“Ini seperti melihat bagaian lain dari kebudayan, namun saya tidak memiliki kepercayaan. Itu tidak berarti saya risau jika agama tetap ada,” tambahnya.
Pada akhirnya, banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa mereka akan mengakomodir pandangan atau praktek religius baik dari siswa-siswa atau rekan-rekan.
“Isu agama sangat umum karena setiap orang berbicara mana kuil yang ingin mereka datangi, mana gereja yang akan mereka datangi,” ujar seorang profesor biologi Taiwan.
“Jadi ini bukan masalah yang kami sembunyikan, kami biasa saja membicarakannya, sebab di Taiwan, kami memiliki banyak penduduk dari banyak agama,” tandasnya.
Eucklund dan sesama kawannya di Rice University, Kristin Matthews dan Steven Lewis mengumpulkan informasi dari 9.422 responden di delapan negara di seluruh dunia: Perancis, Hong Kong, India, Italia, Taiwan, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Mereka juga berkelana ke negara-negara tersebut untuk melakukan wawancara mendalam terhadap 609 ilmuwan, survey dan wawancara terbesar yang pernah dilakukan terkait konflik sains dan agama.
Dengan survey dan wawancara ilmuwan di berbagai jenjang karir, di institusi elit dan non elit, di biologi atau pun fisika, peneliti berharap mendapat perwakilan pandangan ilmuwan terhadap agama, etikda dan bagaimana keduanya bersinggungan dalam karya ilmiah mereka.
Eucklund mengatakan bahwa penelitian ini memiliki banyak implikasi penting yang dapat diaplikasikan dalam proses perekrutan perguruan tinggi, bagaimana ruang kelas dan laboratorium dengan kebijakan publik yang umum dan terstruktur.
“Sains adalah pekerjaan global,” ujar Ecklund. “Oleh sebab itulah kita perlu mengakui bahwa batas-batas antara sains dan agama dapat ditembus lebih dari asumsi selama ini,” pungkasnya.