Nationalgeographic.co.id—Tak seperti pada umumnya yang diajarkan membaca dan menulis, sekolah-sekolah di Sparta, mendorong adanya perkelahian dan perpeloncoan dalam kurikulum sekolahnya.
"Sebagian besar pelajar Sparta terlibat dalam mata pelajaran khas sekolah seperti membaca, menulis, retorika dan puisi, tetapi bagian pelajaran lainnya memiliki sisi jahat," ungkap Andrews.
Evan Andrews menulis tentang kehidupan para Sparta kepada History dalam artikelnya yang berjudul 8 Reasons It Wasn’t Easy Being Spartan, yang dipublikasikan pada 5 Maret 2013.
"Pada usia 7 tahun, anak laki-laki Sparta dipindahkan dari rumah orang tua mereka dan memulai pendidikannya sebagai agoge," tambahnya.
Agoge merupakan sebuah rejimen pelatihan yang disponsori negara. Agoge dirancang untuk membentuk para anak laki-laki menjadi pejuang yang terampil dan warga negara yang bermoral.
"Terpisah dari keluarga mereka dan ditempatkan di barak-barak komunal, para prajurit muda yang sedang menunggu diinstruksikan dalam skolastik, peperangan, sembunyi-sembunyi, berburu dan atletik," lanjutnya.
Pendidikan anak-anak di Sparta tidak hanya dimulai saat mereka berusia 7 tahun, bahkan sejak bayi, ketangguhan mereka sudah diuji. "Bayi Sparta sering dimandikan dengan anggur, bukan air, untuk menguji ketangguhannya," imbuhnya.
Menurut Andrews, sejak mereka kecil, mereka juga sering diabaikan ketika mereka menangis dan diperintahkan untuk tidak pernah takut akan kegelapan atau kesendirian. Hal itu dilakukan untuk memudahkan pendidikan agoge dan ketika mereka mulai tumbuh dewasa.
Agoge sebagian dirancang untuk membantu membuat para pemuda tahan terhadap kesulitan seperti dingin, lapar dan sakit. Anak laki-laki yang menunjukkan tanda-tanda pengecut akan menjadi sasaran ejekan dan kekerasan oleh rekan-rekan atau atasannya, itu menjadi bagian dari pendidikan mereka.