Bahkan gadis Sparta diketahui berpartisipasi dalam ritual perpeloncoan ini. Selama upacara keagamaan dan kenegaraan tertentu, gadis-gadis akan berdiri di depan pejabat Sparta dan menyanyikan lagu-lagu paduan suara.
"Sering kali para gadis memilih peserta pelatihan (agoge) tertentu untuk diejek, untuk mempermalukan, agar meningkatkan kinerja dan mentalitas mereka," tambah Andrews.
Salah satu praktik pendidikan di Sparta yang paling brutal, melibatkan praktik disebut diamastigosis atau kontes ketahanan, di mana para remaja dicambuk—kadang-kadang sampai mati—di depan altar di tempat kudus Artemis Orthia.
Diamastigosis merupakan praktik tahunan yang awalnya digunakan sebagai ritual keagamaan dan ujian keberanian dan ketahanan anak laki-laki terhadap rasa sakit.
Betapapun melelahkannya sistem pendidikan bela diri Sparta, kehidupan prajurit adalah satu-satunya pilihan bagi para pemuda yang ingin menjadi warga negara yang kuat atau Homoioi.
Baca Juga: Penampakan Topeng Besi Kavaleri Romawi yang Dipakai 1.800 Tahun Lalu
Menurut dekrit anggota parlemen Sparta dan reformis Lycurgus, warga laki-laki di Sparta secara hukum dilarang memilih pekerjaan apa pun selain militer. Menjadi tentara Sparta adalah kewajiban bagi para laki-laki di sana.
"Karena kebanyakan dari para laki-laki keasyikan dengan studi perangnya, manufaktur dan pertanian di Sparta diserahkan sepenuhnya kepada kelas bawah," lanjutnya.
Buruh terampil, pedagang dan pengrajin yang bekerja di Sparta adalah bagian dari Perioeci, kelas non-warga negara bebas yang tinggal di wilayah sekitar Laconia.
Sementara itu, pertanian dan produksi pangan jatuh ke tangan Helots yang diperbudak, kelas budak yang merupakan mayoritas penduduk Sparta.
Kekhawatiran akan Helots yang bisa saja memberontak membuat tentara Sparta menjadi solid dan kuat dalam mengukuhkan kekuasaannya.
Baca Juga: Lukisan Erotis Ratu Leda dan Angsa Ditemukan di Reruntuhan Pompeii