Gelora Malam Mencari Jodoh Di Kota Tepian

By , Minggu, 14 Februari 2016 | 18:30 WIB

Ini adalah sebuah cerita pada dua tahun silam ketika hujan deras yang mengguyur Samarinda tiba-tiba saja berhenti. Kami kembali menyusuri seruas marga di sepanjang tepian Mahakam. Melintasi Kampung Jawa, Pasar Pagi, Pelabuhan, hingga berhenti di tepian Muara Karang Mumus. Sebuah perhelatan akbar tengah digelar di pelataran toapekong tertua di kota ini.  

Roman muka Fong Cien, yang akrab disapa Fenny Angkojoyo, tampak berseri dengan blus warna merahnya. Perempuan berusia 50-an tahun itu berdiri sembari menyiduk wadah termos es besar yang berisi kuah santan. Di sampingnya sebuah meja berlapis seng telah memajang belasan mangkuk berisi potongan-potongan lontong, telur bulat, dan ikan haruan dalam kuah bumbu Bali. Inilah lontong Cap Go Meh ala Samarinda!

Tak hanya warga Cina yang menyemarakkan santap lontong peranakan itu, tetapi juga warga lainnya yang turut meramaikan gempita perhelatan kota ini.

“Umat tambah hari, tambah banyak,” ujar Fenny. “Kita bisa kumpul-kumpul kasih lontong cap go meh.” Acara santap bersama kuliner khas peranakan itu digelar setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan imlek. Warga merayakan bersama di pelataran belakang Klenteng Thien Ie Kong, tepian Mahakam. Klenteng ini merupakan toapekong tertua di Samarinda.

Bagi Fenny, siapa saja boleh menyantap hidangan—termasuk kami yang kebetulan melancongi kota ini. Tak hanya warga Cina yang menyemarakkan santap lontong peranakan itu, tetapi juga warga lainnya yang turut meramaikan gempita perhelatan kota ini. Juru masak dan peraciknya pun tidak harus orang Cina.

Saat saya bertanya kepada Fenny tentang kawasan pecinan di kota itu, dia justru balik bertanya.

“Pecinan?” ujarnya heran. “Apa itu pecinan?”

“Semacam kampung orang-orang Cina. Biasanya dekat pasar yang lama.”  

“Ow, kalau itu tidak ada di sini. Semuanya membaur. Tidak ada pecinan di sini.”

Beranda Thien Ie Kong, klenteng tertua di Samarinda yang berlokasi di tepian Sungai Mahakam. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Suara tambur dan cengceng riuh bergema. Warga berkerumun di pelataran belakang klenteng. Kepala liong, sosok naga dalam mitologi Cina, mulai bergelora dan belingsatan. Raganya seakan bergairah mengikuti  tambur.  Naga itu diusung dengan tongkat oleh sembilan  pemuda yang berbusana merah. Mereka membawa sang naga dengan berlari, lalu berputar dan berputar, membentuk lingkaran di hamparan lantai yang basah.

Mereka bergegas ke kampung asalnya, menyapa dan memberi hormat pemilik toko, menerima angpau, lalu mengambil selada yang tergantung di atas pintu.

Suasana sangat ramai. Pada perayaan Cap Go Meh pagi itu, Walikota Samarinda dan beberapa pejabat turut hadir dan menyaksikan atraksi budaya Cina. Dua badut Cina yang ikut menari dengan jenaka dengan mengibaskan kipas, meski mereka tampaknya tak kepanasan.

Setelah acara pemberkatan dan pelepasan dari Klenteng Thien Ie Kong, para penari barongsai dan rombongannya naik ke mobil bak terbuka. Mereka bergegas ke kampung asalnya, menyapa dan memberi hormat pemilik toko, menerima angpau, lalu mengambil selada yang tergantung di atas pintu.

Warga mengantre mendapatkan santapan lontong Cap Go Meh di Klenteng Thien Ie Kong. Jika di Jawa memakai daging ayam, di Samarinda memakai ikan haruan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Malam Cap Go Meh di Samarinda memang unik.  Klenteng yang masih berdinding papan bercat merah menyala itu tampak bergempita bermandikan cahaya. Untaian lampion merah di pelataran sampingnya kian menambah semarak Cap Go Meh.

Aroma setanggi ladan menyeruak. Pelataran klenteng dipenuhi muda-mudi. Mereka umumnya datang dengan bergerombol. Suasana klenteng menjadi berbeda pada malam ini. Semuanya berdandan seperti menghadiri sebuah pesta besar. Bahkan, ada juga sekawanan perempuan muda yang berbusana gaun malam. Bertegur sapa dan saling mengobrol. Malam ini adalah malam yang renyah.