Pertempuran Sungai Terhebat di Negeri Jaitan Layar

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 17:30 WIB

“Lihat, Gunung Jaitan Layar sudah terlihat!” seru Awang Imaluddin sambil menunjuk bukit menghijau di tepian hilir Mahakam. “Zaman bahari, banyak pelaut-pelaut Bugis yang memperbaiki layar kapal mereka yang koyak,” ujarnya. “Makanya dikenal dengan Jaitan Layar.”

Selama beberapa saat saya teringat sejarah bajak laut Samuel Bellamy yang sohor dengan sebutan “Si Hitam Sam” Belamy ketika membajak kapal Whydah di sisi timur Kuba pada 1717.

Saya kerap memperhatikan busana adat yang dikenakan para kerabat keraton. Hari ini Awang berpeci kancing dan berbusana adat warna hijau pucat. Di dada kirinya tersemat emblem kasultanan. “Ini ketopong,” ujarnya sambil menunjuk emblem yang dimaksud. “Di bawahnya ada huruh S-V-K.” Dia berhenti sejenak, lalu berkata, “Sultan Van Kutai.”

Kami berdiri di haluan kapal yang membelah Mahakam seraya memandangi perbukitan di hadapan bersama para Dewa dan Belian. Saya melihat sekeliling dan mendapati bahwa  sekitar empat lusin perahu yang tadinya di tepian sungai kini mulai bergerak serentak mengurung perahu kami. Kami dalam kepungan!

Tabuhan mabon kian menggema dari dalam bahtera untuk mengiringi ritual tepong tawar, menyapa lelembut di Jaitan Layar. Alunan itu mengundang suasana mistis sehingga membuat saya semakin hanyut dalam aroma mencekam.

Selama beberapa saat saya teringat sejarah bajak laut Samuel Bellamy yang sohor dengan sebutan “Si Hitam Sam” Belamy ketika membajak kapal Whydah di sisi timur Kuba pada 1717. Whydah cukup melegenda, sehingga National Geographic Society bersedia membiayai sebagian proyek pencarian harta karunnya. Lalu, terbayang juga kisah klasik soal penyerangan bajak laut yang pernah saya baca di novel terbitan akhir abad ke-19 berjudul Treasure Island karya Robert Louis Stevenson. Novel ini telah menginpirasi film-film bajak laut abad ke-20 hingga Pirates of Caribean yang melambungkan nama pesohor Johnny Depp.

Rumah-rumah panggung di tepian Mahakam, antara Tenggarong dan Kutai Lama, Kalimantan Timur. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Situasi kami saat ini kacau. Kapal-kapal Negeri Jaitan Layar itu berlomba-lomba menghimpit bahtera kami. Mereka memperebutkan harta itu—sisik sang naga. Ibarat kapal dagang Spanyol yang sarat dengan kepingan logam emas—namun kurang mesiu—sedang berlayar melintasi Kepulauan Karibia yang terkenal dengan bajak lautnya.

Tampaknya kedua tugboat itu beradu dengan saling menyemprotkan meriam air. Awak kapal saling meledek dan melemparkan “granat-granat” kantong plastik berisi air.

Dua kapal tugboat ukuran besar “TB Putra Rupat” warna oranye dan “Ocean Mike” warna putih-hitam memutar halauan untuk mendekat menuju arah lambung kapal kami. Sejak zaman bajak laut kelas kakap di Karibia sampai perompak kelas teri di Selat Malaka bagian lambung memang terlemah dan mudah diserang. Tampaknya kedua tugboat itu beradu dengan saling menyemprotkan meriam air. Awak kapal saling meledek dan melemparkan “granat-granat” kantong plastik berisi air. Akhirnya, “TB Putra Rupat” mengalah dengan memutar haluannya dan meninggalkan “Ocean Mike”. Sementara kami tetap melaju perlahan menuju dermaga.  

Saya juga menyaksikan bahwa pertempuran sungai tak hanya terjadi antarkapal, melainkan juga di dalam kapal “TB Putra Rupat” sendiri. Para kru dalam kapal itu justru saling menyemprotkan selang kea rah kru lainnya. Dari halaun bahtera tempat saya berdiri, saya bisa menyaksikan betapa seseorang yang tersembur selang, namun tetap meringis bahagia.

Tak hanya kapal-kapal berukuran besar yang saling bertempur, perahu-perahu nelayan bermotor tempel dan bertenaga dayung pun pun saling melempar “granat-granat” kantong air. Ketika dua perahu saling sengit menyemprotkan air dari selang, tiba-tiba ada kapal motor melaju kencang dan melempar “granat-granat” tadi ke arah mereka. 

Suasana dermaga Kutai Lama, jelang ritual belimbur. Kapal yang membawa naga dielu-elukan, sekaligus diincar untuk diperebutkan. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Saya melihat di luar sana nyaris tak ada awak kapal yang tak basah kuyup. Tinggal kami yang masih kering. Saya pasrah apabila pada masanya harus menerima semburan meriam air dari kapal-kapal itu. Seluruh awak kapal bermuka tegang—termasuk saya.  Para Dewa yang sepanjang pelayaran ini kerap menebar senyum seraya melambaikan tangan, kali ini terhanyut suasana mencekam.

Awang Imaluddin memberi komando kepada nakoda bahtera kami supaya memutari kawasan perairan Jaitan Layar sebanyak tiga kali. Kesulitannya, perairan itu dipenuhi tebaran kapal-kapal yang menghalangi manuver bahtera kami. Awang berikut para Dewa dan Belian siap melakukan ritual mengambil air suci di kawasan sakral bagi warga Kutai.

Kapal mulai mendekati dermaga yang sudah penuh-sesak warga. Mereka tampaknya sudah melakukan belimbur bersama, berbasah-basahan, sebelum kedatangan kami. Saya melihat sekeliling sembari tetap waspada kalau tiba-tiba kapal mereka menyemprotkan meriam airnya ke arah saya. Kapal-kapal mulai tenang—namun tetap bersiaga—menyaksikan ritual di bahtera kami.