Lika-liku Penanganan Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan

By , Minggu, 6 Maret 2016 | 18:00 WIB

Penanganan dan pengusutan kebakaran hutan dan lahan ternyata tidak mudah. Di satu sisi, penyidik dituntut kerja cepat.  Di sisi lain, penyidik dihadapkan berbagai persoalan yang bisa menghambat proses hukum yang dilakukan kepolisian. 

Di Polres Banyuasin, Sumatera Selatan, contohnya. Dari tujuh perkara yang diusut, hanya satu perkara yang dinyatakan P21 alias lengkap oleh kejaksaan. Adapun, dua perkara dalam tahap penyidikan dan empat perkara masih tahap penyelidikan.  Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Banyuasin AKP Agus Sunandar mengatakan, "utang" perkara bukan karena kinerja penyidik yang tidak profesional. (Baca : Korupsi di Balik Kabut Asap Indonesia) "Perkara kebakaran hutan dan lahan itu mesti menggunakan teknik scientific identification. Di mana pengujiannya haruslah memakai saksi ahli," ujar Agus saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (3/3/2016).  Berliku  Ia mengungkapkan, untuk mendatangkan seorang saksi ahli, penyidik harus mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup. 

Prosesnya tak mudah, bahkan berliku. Setelah menerima surat dari kepolisian, pihak kementerian kemudian menunjuk saksi ahli. Misalnya, saksi ahli berasal dari IPB Bogor, maka penyidik harus menyurati IPB untuk meminta izin pemeriksaan.

"Bayangkan, kita surat-menyurat dengan kementerian saja sudah berapa lama. Belum lagi dengan universitasnya. Ujung-ujungnya, kami yang menyurati saksi ahli itu secara personal," ujar Agus.

Ia mencontohkan, untuk enam kasus yang masih dalam proses pengusutan, penyidik telah melewati prosedur surat-menyurat dengan kementerian dan universitas. Namun, saksi ahli belum datang karena masih menjadi saksi ahli di tempat kejadian perkara kebakaran hutan dan lahan lainnya. 

(Baca pula : 'Aktor-Aktor' di Balik Pembakaran Lahan dan Hutan)

"Mungkin harusnya kebijakannya saksi ahli untuk Sumatera Selatan berapa. Ditetapkan sejak awal, supaya enggak antre," ujar Agus.  Kendala biaya

Bukan hanya prosedur yang berliku. Menurut Agus, persoalan lain yang menghambat penanganan kasus adalah biaya. Sebagai contoh, satu kasus kebakaran hutan dan lahan minimal diteliti oleh dua saksi ahli. 

Upaya untuk mendatangkan dua saksi ahli ini dibiayai oleh penyidik, mulai dari tiket pesawat, penginapan, transportasi, dan sebagainya. Setidaknya, satu saksi ahli dibiayai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.

"Kami di daerah begini, ya uang dari mana?" ujar Agus.  "Main mata"

Yang ironis, Agus mengatakan, masyarakat sering tidak mengetahui kendala itu. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa perkara yang "mangkrak" karena ada 'main mata' antara polisi dengan perusahaan yang tengah disidik.

(Baca pula : Indonesia Akhirnya Punya Nilai Emisi Rujukan untuk Kehutanan)

"Kadang-kadang saya secara pribadi, maaf ya, menganggap, ini kan kami ini menjalankan program pemerintah. Tapi kok ya kayak main-main saja," ujar Agus.