Dari hasil pertemuan itu, Soeharto mengatakan kepada tiga jenderal itu bahwa dirinya bersedia mengatasi keadaan jika sudah ada surat perintah resmi.Tiga jenderal itu pun mendapat tugas untuk segera mendapatkan surat mandat dari Soekarno yang kemudian dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).Supersemar ditandatangani Presiden Soekarno di hadapan tiga jenderal itu disaksikan oleh seorang ajudannya, Soekardjo Wilardjito.Banyak versi menyebutkan situasi saat penandatanganan itu terjadi. Ada yang mengatakan, Soekarno mendapat tekanan hingga ditodongkan senjata. Versi ini kemudian dibantah oleh keluarga Soeharto.
(Baca juga: Supersemar Versi Soeharto)Supersemar yang menjadi surat mandat kepada Soeharto itu kemudian dimaknai sebagai tiket untuk membubarkan langsung PKI tanpa persetujuan Soekarno, penangkapan sejumlah menteri, hingga penangkapan orang-orang yang dicurigai terkait PKI.Surat itu kemudian juga dimaknai sebagai peralihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto.Soekarno pun berang dan menyindir aksi Soeharto itu. Meski Soekarno marah melihat aksi yang dilakukan Soeharto, tetap saja Soekarno tak bisa lagi melawan karena seluruh kekuatan politiknya saat itu sudah dipereteli.
(Baca juga: Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?)"Dari satu kalimat 'mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu', mungkin blunder yang dilakukan Bung Karno, oleh seorang sipil, dengan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara," ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada wartawan Kompas.com, Kristian Erdianto, dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.Melalui Supersemar itu pula, Soeharto akhirnya berkuasa menjadi Presiden kedua RI hingga 32 tahun lamanya. Sementara masa tua Soekarno dihabiskan menjadi tahanan rumah yang harus mendapat bantuan pihak luar untuk biaya berobatnya.