Melihat Jejak Edelweiss Terakhir

By , Senin, 21 Maret 2016 | 16:00 WIB

Pendaki asal Banda Aceh, Syahrol Rizal (35), mengatakan, di Aceh, edelweis hanya ada di Burni Telong. Selain itu, edelweis di Burni Telong mudah dijangkau. Edelweis itu tampak di kanan-kiri sepanjang 1 kilometer jalur menuju puncak.

Bahkan, ada ladang edelweis seluas 10 x 15 meter di samping jalur pendakian yang berjarak sekitar 1 kilometer sebelum puncak.

”Kalau di gunung lain, kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melihat edelweis. Misal di Gunung Kerinci (Jambi), kita harus jalan sekitar 30 menit dari jalur pendakian berbelok ke arah dalam sebelum puncak,” ujar Syahrol yang telah empat kali mendaki Burni Telong sejak 2002 dan pernah mendaki lebih dari 15 gunung di Sumatera dan Jawa.

Akan tetapi, Syahrol menuturkan, edelweis di Burni Telong hanya tinggal sisa-sisa. Jumlahnya terus berkurang 10 tahun terakhir. Dahulu, edelweis itu merata di sepanjang 1 kilometer jalur menuju puncak. Kini, hanya beberapa tumpuk edelweis di jalur tersebut.

”Dulu, luas ladang edelweis di samping jalur pendakian itu pun 2-3 kali lipat dari yang ada sekarang,” ucapnya.

Hal itu akibat ulah tangan-tangan jahil yang memetik tumbuhan tersebut. Terbukti, banyak batang yang cacat kehilangan separuh bagian, dari tengah hingga pucuk. Banyak pula edelweis yang mati diinjak pendaki yang melalui jalur pintas.

!break!

Terapkan denda

Pendaki asal Medan, Sumatera Utara, Deni Kurniawan (24), berharap pengelola gunung itu lebih ketat dalam mengawasi dan menindak para pendaki nakal serta rutin merawat kebersihan gunung tersebut.

”Pendaki sudah bayar biaya pemandu ke sini, jadi pengelolanya harus lebih optimal memberikan pelayanan,” katanya.

Ketua Pemuda Gampong Rembune, sekaligus penjaga Burni Telong, Eri Dwisulistyo (27) menuturkan, sekitar 50 orang mendaki Burni Telong di tengah pekan dan 100-150 orang di akhir pekan atau hari libur.

Sebelumnya, mereka bisa mendaki gratis tanpa pengawasan. Namun, ternyata banyak dampak negatif.

Aktivitas mereka tidak terkontrol, antara lain memetik edelweis dan membuang sampah sembarangan. Bahkan, jumlah sampah mencapai 200-300 kilogram setiap dikumpulkan saat kerja bakti 3 bulan sekali.

Untuk itu, setahun ini, pihak kampung memberlakukan sistem pemanduan bagi para pendaki agar pengawasan lebih ketat.

”Kami pun menerapkan denda, yakni pemetik edelweis Rp 5 juta per orang, pembuang sampah plastik Rp 10.000 per sampah per orang, dan sampah kaleng Rp 50.000 per sampah per orang,” tuturnya.

Kendati demikian, Eri menambahkan, sistem pemanduan dan denda itu hanya bagian kecil untuk menjaga Burni Telong dan seisinya. Yang paling utama tetap kesadaran dari pendaki. Jika tidak, Burni Telong akan kian hancur dan edelweis terakhir tidak akan terlihat lagi di masa depan. (Adrian Fajrianansyah)