Kemesraan Indonesia dan Prancis

By , Selasa, 22 Maret 2016 | 06:00 WIB

Sebelum menjadi duta besar Prancis untuk Indonesia, Corinne Breuzé merupakan duta besar di Yordania selama 2009 hingga 2012. Dia merupakan pembaca lama National Geographic dan menggandrungi National Geographic Traveler. Baginya, pengalaman berwisata bisa membuat seseorang rendah hati. Saran Corinne bagi pelancong yang hendak berkelana ke negerinya, "Prancis tidak hanya Paris."

Kapan hubungan budaya antara orang Prancis dan orang Indonesia bermula?

Kami perkirakan ketertarikan Perancis pada Indonesia, di bidang ilmiah, dimulai sejak zaman Louis-Charles Damais (1911-1966). Ia dianggap sebagai ahli besar Prancis tentang Indonesia yang pertama. Ia juga merupakan alumni INALCO/ Institut Bahasa dan Peradaban Timur di Paris. Dari Institut tersebut dia memperoleh enam gelar (Persia, Oriental Arab, sastra Arab, Turki, Melayu dan Cina). Dia menetap di Indonesia (Batavia) pada tahun 1937, membangun keluarga dengan menikahi seorang wanita Indonesia, dan meninggal di sana pada tahun 1966. Dialah yang membuka departemen penelitian pertama EFEO/Lembaga Prancis yang meneliti kebudayaan Asia di Jakarta pada tahun 1952. Beliau merupakan ahli sejarah, prasasti, filolog, pengarang yang tema tulisannya mencakup teater, lukisan, puisi maupun astronomi. Beliau orang yang memiliki« rasa ingin tahu sangat besar tentang semua hal». Beberapa ahli Prancis terkemuka kemudian melanjutkan karya Louis-Charles Damais, seperti Denys Lombard (1938-1998), penulis "Carrefour Jawa" atau arkeolog Dumarçay Jacques.

Di bidang sejarah, sebagaimana yang telah kita ketahui, Herman Willem Daendels bersekutu dengan Louis Napoleon Bonaparte sebelum ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1811 dan telah mengibarkan bendera Prancis di Batavia untuk masa yang singkat. Daendels meninggalkan kenangan buruk bagi rakyat Indonesia, namun dia merupakan salah seorang yang meraih prestasi paling luar biasa di bidang infrastruktur dari masa kolonial Belanda, dengan membangun jalan utama melintasi pulau Jawa, dari Barat hingga ke Timur.

Bagaimana keadaan sektor pariwisata Prancis usai teror akhir tahun lalu?

Bukan hanya destinasi yang ada di negara kami yang terkena dampak peristiwa mengerikan tersebut tetapi seluruh Eropa. Sejak tragedi tersebut, pasar kami di Asia mengalami kemerosotan, terutama Jepang yang menangguhkan 100% jumlah penerbangannya hingga musim semi. Namun beberapa bisa pulih dengan sangat cepat (misalnya Cina, pasar terbesar Prancis di Asia).

Di Indonesia kami melihat jumlah visa yang dikeluarkan Prancis mengalami penurunan, namun tidak berlangsung lama, menyusul serangan teroris bulan November. Tetapi sejak awal tahun 2016 jumlahnya meningkat pesat. Di bulan Januari, misalnya, kami mencatat ada kenaikan jumlah visa sebesar 50% dibandingkan dengan tahun lalu. Sayangnya terorisme merupakan ancaman di seluruh dunia. Tak satu pun benua yang luput dari serangan, termasuk Asia Tenggara, beberapa bulan lalu.

Berkait United Nations Conference on Climate Change (COP21) yang digelar di Paris tahun lalu, dapatkah pariwisata dan pelestarian lingkungan berjalan bersama?

Pelestarian lingkungan mungkin tantangan terbesar bagi umat manusia setelah perdamaian. Di Prancis, kami percaya bahwa pariwisata berkelanjutan bermanfaat bukan hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi rakyat Prancis dan ekonomi. Di tahun 1960, Prancis membangun Taman Nasional (seluruhnya ada 10 hingga saat ini) dan pada tahun 1967 taman-taman daerah (51). Perbedaan antara keduanya adalah bahwa taman nasional lebih unik. Taman taman tersebut merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan dan hewan endemik. Sebagian besar area taman nasional tertutup untuk pembangunan dan manusia. Kami juga menetapkan kuota wisatawan untuk mengontrol jumlah wisatawan di daerah yang padat pengunjung atau kami buat tiruan tempat tersebut (misalnya gua Lascaux dan Gua Chauvet)

Pembangunan kota pintar/smart city juga merupakan moto yang digaungkan pemerintah Prancis? Prancis memiliki keahlian yang diakui di bidang ini (Montpelier, Marseille, dan kota-kota lainnya). Konsep kota pintar mencakup urbanisasi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan, penggunaan sumber alam secara adil, penghormatan terhadap warisan, dll. Pariwisata merasakan dampak langsung dari konsep ini, dan kami dengan senang hati mempromosikannya. Di wilayah perkotaan yang luas, kami mendorong para pelancong asing untuk mengunjungi situs-situs budaya yang dilestarikan (misalnya Istana Versaille), mengonsumsi gastronomi Prancis yang sehat, menggunakan angkutan yang memakai energi hijau, dengan mempromosikan wisata keliling kota naik Segway, sepeda sewaan, trem dan kereta bawah tanah.

Di atas semua itu, yang terpenting, para wisatawan harus dididik (dimulai dari sekolah) untuk berperilaku ramah lingkungan. Namun ini merupakan upaya global dan sayangnya akan memakan waktu puluhan tahun. Sebaliknya, kurangnya perilaku ramah lingkungan dapat berdampak mengurangi jumlah kunjungan wisatawan di beberapa tempat.

Di masa lalu beberapa kali Atout France membantu perusahaan swasta dan lembaga pemerintah di dunia untuk mengembangkan tawaran local mereka yang berkelanjutan. Saya yakin Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di bidang ekowisata.

Apakah Anda memiliki ide yang dapat dikembangkan untuk kerja sama bidang seni, budaya, dan wisata antara Prancis dan Indonesia?