Membingkai Memori Kampus Biru

By , Selasa, 29 Maret 2016 | 13:30 WIB
Sebuah penanda sejarah tertanggal 25 Desember 1965, yang merupakan tanda terima kasih RPKAD kepada UGM yang telah membantu menumpas "Operasi Gestapu/PKI di Djawa Tengah". Belakangan, piagam ini mengingatkan publik ketika mengenang 50 tahun peristiwa pembantaian besar-besaran di Indonesia (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)

“Museum UGM ini bukan satu-satunya,” ujar Sektiadi. “Museum Biologi merupakan museum tertua yang dimiliki UGM.” Selain itu kampus ini memiliki sederet museum lainnya seperti Museum Kayu Wanagama yang dikelola Fakultas Kehutanan, Museum Paleontropologi yang dikelola Fakultas Kedokteran, Museum Peta dan Museum Gumuk Pasir yang dikelola Fakultas Geografi, serta Museum Mandala Majapahit yang dikelola Fakultas Ilmu Budaya.

Sejak kapan UGM berjulukan “Kampus Biru”?

Pada awal 1970-an terbit novel Cintaku di Kampus Biru  karya Ashadi Siregar—yang beberapa tahun silam pensiun dari dosen FISIPOL UGM. Novel itu berkisah tentang romantika mahasiswa yang berlatar kampus UGM. Namun, tampaknya julukan “Kampus Biru” mulai banyak digunakan orang setelah film dengan judul yang sama ditayangkan di gedung-gedung bioskop pada 1976. Kebetulan, ibu saya—ketika itu masih gadis—tampil dalam beberapa adegannya. Namun, sayangnya, novel yang menjadi tengara baru kampus UGM itu justru belum masuk dalam koleksi museum.

Bagi saya, berkunjung ke Museum UGM merupakan sebuah pengembaraan memori tentang riwayat diri dan kampus ini. Saya, seperti juga almarhum ayah, pernah berguru untuk meramu ilmu di Kampus Biru.

Museum UGM, menempati dua rumah dinas dosen di Bulaksumur D6 dan D7. Museum yang masih terus berbenah ini buka setiap Senin hingga Jumat. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Traveler)