Sebuah Kutukan yang Menghidupkan Lasem

By , Rabu, 30 Maret 2016 | 19:30 WIB

Sebuah makam yang terletak di Desa Babagan Lasem, dengan batu nisan (bong) yang dicat warna putih dengan penegas aksara Cina berwarna hitam menjadi penanda berkembangnya kisah mistis yang dituturkan sejak berabad silam. Kutukan abadi Han Wee Sing untuk keturunannya yang berani tinggal di Lasem akan mengalami kesialan. Bagi laki-laki akan bangkrut bila berbisnis, yang perempuan tak akan punya keturunan. Begitu masifnya kisah kutukan ini sampai-sampai tersebar kisah keturunan Han jika bepergian tidak akan melintasi Lasem, baik jalur darat maupun jalur udara!

Kisah legenda Han Wee Sing di Lasem merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Lasem. Dikisahkan Han Wee Sing merupakan saudagar kaya yang memiliki dua anak laki-laki. Ia dikenal sebagai pekerja keras, suka membantu orang di sekitarnya, dan tak suka menghamburkan kekayaannya di meja judi atau untuk jual beli candu. Karakternya yang berintegritas ini rupanya tak diikuti oleh kedua anak lelakinya Han Te Su dan Han Te Ngo yang suka berjudi. Anak-anak Han Wee Sing yang gemar beradu dadu rupanya mengakibatkan keluarga Han jatuh miskin. Sang ayah wafat dengan membawa derita dan nelangsa.

Bangkrutnya Han Wee Sing menyebabkan pemakamannya tak kunjung terlaksana. Uang sumbangan para pelayat pun masih saja digunakan anak-anaknya untuk bertaruh nasib di meja judi. Suatu hari, anak-anaknya membungkus jenasah Han Wee Sing dan bermaksud menguburkannya dengan cara seperti itu. Dalam perjalanan menuju tanah makam, rombongan yang membawa jenasah dirundung mendung. Awan hitam menggelantung. Tak lama hujan petir menyambar dan jenasah ditinggalkan begitu saja. Ketika mereda, muncul gundukan tanah makam.

Tak lama berselang, terdengar suara mengutuk datang dari dalam makam itu yang menyebutkan bahwa keturunan Han tidak boleh tinggal di Lasem. Apabila melanggar akan jatuh miskin. Kemudian, kedua pemuda Han ini berlari meninggalkan Lasem.

!break!

Keturunan Han menyebar di beberapa kota besar, terutama Surabaya. Tengoklah rumah abu keluarga Han di Surabaya, ya dari Lasemlah mereka berasal! Legenda ini sampai sekarang masih terus berdengung dan menjadi semacam urban legend di Lasem. Daya mistisnya justru menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk mendatangi makam di Lasem ini.

Siapakah Han Wee Sing sesungguhnya? Mari, saya mengajak Anda membaca nisan legendaris tersebut. Nama yang tertera dalam nisan itu adalah Han Du Chun. Ia dikenal dengan nama Han Siong Kong. Pada nisan tersebut tertera informasi waktu pendirian nisan yaitu tahun ke-33 masa pemerintahan Kaisar Qian Long (1735-1796) dari Dinasti Qing, tepatnya tahun 1768. Informasi selanjutnya menyebutkan bahwa Han De Chun berasal dari Tian Bao (Fujian) dan pada saat nisan itu dibuat, Ia memiliki lima orang anak laki-laki, belasan cucu dan tiga orang buyut.

Sejatinya, pada 1991, Claudine Salmon telah mempublikasikan artikelnya yang berjudul “The Han Family of East Java Entrepreuneurship and Politics (18th-19th Century)” dalam jurnal Archipel volume 41. Salmon melacak asal-usul keluarga Han di Pulau Jawa sampai ke Tianbao, Zhangzhou-Fujian, tempat nenek moyang marga Han berasal. Didapatinya rumah keluarga Han Siong Kong terletak di daerah Ximenzhai, Tianbao-Fujian.

Han Siong Kong lahir di Lubianshe, Tianbao, pada tahun 1673. Menurut Salmon yang membaca papan arwah di Rumah Abu Keluarga Han – Surabaya, Han Siong Kong menetap di Lasem dan meninggal di Rajegwesi (sekarang Bojonegoro) pada tahun 1743. Selanjutnya Salmon yang menggali tradisi lisan lokal menyebutkan bahwa pada saat pemakaman Han Siong Kong, terjadi hujan lebat dan petir hebat. Peti mati Han Siong Kong dibiarkan teronggok di jalanan karena para pengantar jenasah berhamburan mencari tempat berteduh. Cerita berlanjut dengan terkuburnya peti mati tersebut secara misterius.

Konon, arwah Han Siong Kong mengutuk keturunannya karena tidak berbakti dengan menelantarkannya di jalanan. Sejak saat itu, keturunan Han dipercaya meninggalkan Lasem. Namun ternyata Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong, dua anak lelaki tertua Han Siong Kong, memilih tetap tinggal di Lasem. Sementara Han Bwee Kong menuju Surabaya dan menjadi Kapitan Cina.

!break!

Seorang anak Han yang bernama Han Tjien Kong beragama Islam, memiliki nama Soero Pernollo dan menetap di Besuki. Demikian pula Han Hien Kong yang turut bermukim di Besuki. Sedangkan kedua putri Han Siong Kong yaitu Pien Nio dan Poen Nio tidak diceritakan lebih lanjut.

Menurut catatan keluarga Han di Surabaya, kelima anak Han Siong Kong lahir di Lasem. Namun, tiada papan arwah sang ibunda di Rumah Abu Keluarga Han, Surabaya. Diduga, istri Han Siong Kong adalah wanita asal Lasem—bukan keturunan Cina.

Suatu ketika pagi hari sambil mencecapi sarapan nasi semur di warung Jenghai, Karangturi, saya sempat melontar pertanyaan,”Pak, tau cerita tentang makam Han?” Jenghai menyambar, “Itu terkenal, Mbak! Serem itu!”

Seorang pemuda yang sedang serius membatik lelet di rokoknya mendongak, “Saya pernah dengar, itu yang kutukan keluarga Han nggak bisa hidup di Lasem kan ya?”