Pieter Skip (52) dengan sabar menanti hingga awan tak lagi mengerubuti puncak Gunung Gamalama, Pulau Ternate, Maluku Utara, suatu pagi awal Maret lalu. Dari pelataran Masjid Raya Al-Munawar yang berdiri megah di pesisir pantai, ia mengabadikan puncak berketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut itu. Ia tampak lega.
Rupanya sejak tiba di Ternate satu hari sebelumnya, Skip baru bisa menyaksikan momen pada saat puncak bebas dari kerumunan awan. Pemandangan itu seakan jadi pelengkap sekaligus menjawab rasa penasaran akan rupa utuh gunung.
”Foto-foto Ternate sudah lengkap, mulai dari pantai yang indah hingga puncak gunung,” ujarnya semringah.
Ia sengaja datang ke Ternate untuk menyaksikan gerhana matahari total (GMT) yang menyambangi Ternate dan sejumlah wilayah lain di Indonesia pada 9 Maret lalu. Khusus Ternate, gerhana matahari mulai terjadi pada pukul 08.36 WIT dan mencapai fase total pada pukul 09.52 WIT selama 2 menit 36 detik. Gerhana berakhir pada pukul 11.20 WIT.
Pesona wisata Ternate semacam hadiah tambahan baginya yang sudah datang jauh-jauh dari Belanda untuk memburu GMT. Ia terpikat setelah menyusuri Jalan Lingkar Pulau Ternate sejauh lebih kurang 42 kilometer untuk mengelilingi pulau dengan luas 37,23 kilometer persegi itu.
Ia sudah menikmati sajian panorama pesisir pantai, peninggalan bangsa kolonial pada zaman perburuan rempah-rempah, warisan budaya Kesultanan Ternate, hingga jejak letusan Gunung Gamalama yang masih aktif hingga sekarang.
Yang juga tak luput dari perhatiannya ialah komoditas khas, seperti buah pala, bunga pala, dan cengkeh yang dijemur warga di sisi jalan.
Di Pulau Ternate terdapat banyak benteng kolonial, seperti Benteng Oranje yang didirikan pada 1607 oleh Belanda dalam misi monopoli rempah-rempah.
Pedagang Eropa pertama kali tiba di Indonesia pada abad ke-16 dan langsung mencari sumber rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Benteng yang masih kokoh berdiri di tengah kota itu dahulu menjadi pusat pemerintahan Belanda di Indonesia.
Benteng Oranje menjadi markas pertama kongsi dagang Belanda Vereenigde Oost-Indesche Compagnie (VOC) di Indonesia sebelum dipindahkan gubernur jenderal keempat Belanda, Jan Pieterszoon, ke Batavia atau Jakarta kini. Demikian ditulis M Sofyan Daud dalam bukunya, Ternate Mozaik Kota Pusaka, terbitan 2012.!break!
Ada pula benteng Portugis bernama Nuestra Senora del Rosario yang kini tinggal reruntuhan. Di benteng itu, Sultan Khairun dibunuh karena menolak permintaan monopoli rempah-rempah oleh Portugis. Anak Khairun, Babullah, kemudian mengobarkan perlawanan.
Untuk dikenang lintas generasi, Khairun kini dijadikan nama Universitas Khairun, sedangkan Babullah menjadi nama bandar udara Ternate.
Masih di pusat kota yang berada di sisi timur pulau itu terdapat Kedaton Sultan Ternate, kesultanan Islam yang hingga saat ini masih eksis dan memiliki pengaruh kuat di Ternate, bahkan Maluku Utara. Sultan terakhir yang memimpin ialah sultan ke-48 bernama Mudaffar Sjah (1935-2015). Sejak Mudaffar mangkat belum ada penggantinya.