Sengketa Ikan Bisa Memicu Krisis di Laut China Selatan

By , Sabtu, 9 April 2016 | 10:00 WIB

Rivalitas di Laut China Selatan mulai bergeser dari klaim teritorial ke sengketa berebut sumber daya alam. Uniknya bukan minyak dan gas yang menjadi pangkal perkara, tetapi  ikan dan hasil laut lainnya.

Bukan minyak dan gas yang bakal memicu krisis di Laut China Selatan, tetapi ulah para nelayan. “Mereka berpotensi besar menyebabkan eskalasi yang tidak diinginkan oleh siapapun,” ujar Gregory Poling, pakar maritim di Center for Strategic and International Studies (CSIS) kepada jurnal Foreign Policy.

Poling tersebut bukan ramalan, tetapi realita. Baru-baru ini kantor berita Associated Press menurunkan kisah seorang nelayan Filipina bernama Renato Etac yang pernah ditodong senjata oleh aparat penjaga pantai China.

“Mereka bilang, keluar, keluar dari Scarborough!” tuturnya merujuk pada karang Scarborough di kepulauan Spratly yang diklaim China dan Filipina.

Etac lalu berteriak balik, “Dimana dokumen yang membuktikan Scarborough adalah milik China?”

Renato Etac yang selalu menangkap ikan di sekitar karang tersebut mengaku sering bermain kucing-kucingan dengan pasukan penjaga pantai China.

 “Ini seperti sebuah permainan,” kata Etac. “Saling damprat. Mengacungkan jari tengah, sebagai hinaan, semuanya ada,” tambahnya.

Kisah Etac bukan satu-satunya. Baru-baru ini media pelat merah Vietnam melaporkan pasukan penjaga pantai negara ini mengusir lebih dari 100 kapal nelayan China dalam dua kurun waktu minggu.

Vietnam juga menangkap sebuah kapal China yang membawa 100.000 ton minyak diesel untuk dijual kepada kapal nelayan yang mencari ikan di Laut China Selatan.

Bahkan Indonesia pun ikut mengecap sengketa ketika kapal pengawas perikanan berusaha menangkap kapal nelayan China di perairan Natuna, namun upaya tersebut kandas lantaran kehadiran kapal penjaga pantai China.

Kasus itu telah membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berang dan melontarkan tekad Indonesia perangi illegal fishing.

Beberapa pakar meyakini China sedang menggunakan armada kapal nelayannya yang besar dan kian agresif sebagai senjata geopolitis buat mengintimidasi negara lain di kawasan.

Tahun 2013 silam Presiden Xi Jinping yang baru dilantik mengadakan kunjungan dadakan ke pelabuhan nelayan China di Tanmen yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

Di sana ia mendorong para nelayan untuk mempertahankan wilayah leluhurnya di sekitar kepulauan Spratly.

Belum lama ini harian Singapura, The Straits Times, melaporkan pemilik kapal nelayan China mendapat bonus sebesar 30.000 Dollar AS dari pemerintah setiap kali mereka berlabuh di wilayah sengketa.

Nelayan China kini menikmati dukungan penuh negara untuk menjelajah Laut China Selatan. “Mereka dikawal kapal pasukan penjaga pantai China,” kata poling pakar maritim di CSIS.

“Mereka mengorganisir armada ikan yang besar dan berlayar bersama selama beberapa pekan. Penangkapan ikan semacam itu semakin terorganisir dan semakin sering. Skalanya sudah berubah,” ujarnya.