Psikologi Paruh Baya, Nostalgia Generasi X dan Pemikirannya Kini

By Fikri Muhammad, Minggu, 19 Desember 2021 | 08:00 WIB
Beberapa artefak budaya generasi X yang bertahan lama. ( GRAMERCY PICTURES/EVERETT COLLECTION, FROM WARNER BROS./NEAL PETERS COLLECTION. CENTER, FROM MATADOR RECORDS, MIRAMAX/EVERETT COLLECTION, COLUMBIA PICTURES/EVERETT COLLECTION, UNIVERSAL PICTURES/EVERETT COLLECTION. BOTTOM: NO CREDIT, BY FRANS SCHELLEKENS/REDFERNS/GETTY IMAGES.)

Nationalgeographic.co.id - Menjelang akhir tahun kedua pandemi COVID-19 selama musim liburan ini, beberapa acara televisi muncul di sekitar tema dari stok kehidupan Generasi X. Pandemi secara fundamental telah mengubah beberapa hal dalam kesadaran sosial. Apa yang terjadi di masyarakat bisa menghilang, bergerak maju, tetapi beberapa aspek tidak akan pernah sama. 

Generasi X yang sering dianggap sebagai generasi terlupakan, terjepit di antara kelompok Boomers dan Milenial yang lebih besar telah resmi memasuki usia paruh baya dengan banyak dari mereka berusia pertengahan 40-an hingga 50-an.

"Kita tidak terlalu tua untuk mengharapkan keterbatasan fungsional yang akan segera terjadi, tetapi tidak terlalu muda untuk melupakan kematian dan menyaksikan orang tua kita menua," tulis seorang psikiatris, Jean Kim di Psychology Today. Banyak dari generasi ini sudah punya anak di sekolah menengah dan perguruan tinggi, menjadi corong para Gen Z yang mandiri dan membangun semangat budaya baru.

Peristiwa sejarah sebagian besar memanas untuk Generasi X. Perang Dingin mengilhami mereka dengan rasa takut, tetapi akhir yang relatif damai justru membuat banyak dari mereka solipsisme dan bingung. Timur Tengah menjadi masalah berikutnya untuk bencana global, dengan dua Perang Teluk Persia dan 9/11. 

Kim bilang, banyak dari Generasi X tumbuh dengan pola makan yang tetap dari realitas virtual dan teknologi, mati rasa karena ketidaknyamanan fisik atau tenaga kerja. Komunikasi perlahan-lahan menjadi seketika dan secara individual didalangi. Mereka saling mengetik dan bertukar kehidupan, mencari rangsangan dalam batas-batas yang nyaman. Menyimpan tragedi sejauh mungkin, sementara kelas bawah yang berkembang menderita dan menanggung beban kebutuhan masyarakat akan kenyamanan. 'Reality show' pertama kali ditayangkan di televisi oleh saluran MTV yang sekarang menjadi bayangan korporat samar dari akar artistiknya yang bersemangat. 

Baca Juga: Siapakah yang Lebih Tahan Hoax? Generasi X, Y atau Z?

The Real World Homecoming ditayangkan kembali bulan Maret tahun ini, menyatukan kembali para pemeran asli dari musim pertamanya pada 1992. Sebagian besar pemeran yang notabenya Generasi X merasa nyaman dan mengakui bagaimana adat istiadat dan kesadaran sosial telah berubah sehubungan dengan ras, seksualitas, gender, dan masalah keadilan sosial yang diangkat hari ini. 

Sayangnya, menurut Kim, ada salah satu pemeran yang tidak mampu menggoyahkan sisi gelap Generasi X. Rebecca kembali ke sikap defensif-nya yang tidak goyah dari ego dan tidak mengakui ketidakadilan sistemik dan masalah rasial. Sex and the City juga kembali dengan seri baru, pemerannya mungkin menghadirkan kesenjangan generasi yang besar dalam ide-ide yang mendasari mereka. 

Secara kesuluruhan, Generasi X dalam acara-acara ini mencoba menghadapi kenyataan di mana mereka berdiri dalam siklus hidup saat ini. Mereka tumbuh selama konservatisme tahun 80-an yang terlindungi dan dicampur dengan narasi sederhana tentang kemajuan dan penciptaan diri. Didukung oleh ledakan teknologi. 

Generasi X saat ini mendekati kepemimpinan senior dalam tatanan masyarakat, tetapi dengan seperangkat nilai yang sangat beragam dengan berbagai pengaruh yang ditumbuhkan bersama. 

"Beberapa dari kita terinspirasi dan terbuka untuk mendengarkan rekan-rekan muda progresif kita. Banyak dari kita adalah generasi latchkey yang kesepian, tetapi optimis dan riang dalam hal lain dengan humor yang unik, musik kreatif kita, dan keyakinan kita akan dunia yang damai," tutur Kim.