Nationalgeographic.co.id - "Vive l'Empereur (Hidup Kaisar)!" sorak para warga Charleroi, Belgia ketika pasukan Prancis merebut kota itu pada 14 Juni 1815. Saat itu Belgia masih bagian dari Belanda yang juga masih hangat-hangatnya terbebas dari cengkraman Napoleon setelah kekalahannya.
Ketika tiba di kota itu, Napoleon tampak gagah di mata mereka untuk membebaskan cengkraman Sekutu di Belgia yang sudah bersedia.
Sungguh berbeda nasib Napoleon saat itu, padahal sebelumnya ia harus dibuang ke Pulau Elba, Italia, setelah kekalahannya menghadapi Sekutu. Tapi semenjak lari kembali ke Prancis pada Februari 1815, dia dengan cepat mengumpulkan kembali tentara baru di Prancis.
Ada 1.200 seragam yang setiap harinya diproduksi di bengkel-bengkel Prancis, dan 12.000 butir peluru dalam dua bulan. Akhirnya, ia memiliki 124.000 pasukan yang terkonsentrasi di perbatasan-perbatasan Prancis, termasuk yang bersinggungan dengan Belgia.
Sebelum jatuhnya Charleroi, negara-negara Sekutu yang terkejut dengan kaburnya Napoleon segera mempersiapkan dirinya untuk ke Brussels demi antisipasi. Tujuannya adalah menghancurkan Napoleon selama-lamanya.
Arthur Wellesley (Duke of Wellington) tiba di Brussels dari Wina pada 4 April 1815 dengan rasa kecewa. Sebab pasukan Inggris-Belanda yang siap tempur kurang dari 33.000 personel.
"Saya memiliki tentara yang buruk, sangat lemah, kurang perlengkapan, dengan staf yang tidak berpengalaman," urainya dikutip Rupert Butler dkk dalam buku Perang yang Mengubah Sejarah, Buku Kedua: Dari Pengepungan Quebec (1759) hingga Operasi Iraqi Freedom (2003).
Pasukan bantuan datang dari Prusia yang dimpimpin Marsekal Leberecht von Blücher. Sebenarnya, Blücher kekurangan prajurit karena kehabisan uang akibat kebijakan Napoleon sebelumnya. Pasukannya menjadi sebesar 120.000 personel datang dari masyarakat yang sukarela bergabung karena terdorong kebencian pada Prancis.
Wellesley menganggap Prancis tidak akan melakukan serangan dari perbatasan dan memilih posisi bertahan. Sebenarnya, Napoleon yang masih di Paris sengaja memberi kesan itu sambil membangun jaringan perbentengan agar menutup celah adanya penyusupan. Barulah 6 Juni, Prancis diam-diam mengumpulkan pasukan untuk melancarkan serangan.
Dini hari sepekan berikutnya, 12 Juni, Napoleon meninggalkan Paris menuju markas besar di Beaumont, perbatasan Prancis-Belgia untuk menjumpai pasukannya yang tidak sabar menyerang. Setibanya, dia berseru "Waktunya tiba untuk mengalahkan atau dikalahkan!" membuat kota Charleroi berhasil direbut.
Baca Juga: Misteri Penis Kecil Napoleon yang Berpindah-pindah Tangan Lintas Benua
Informasi ini membuat Blücher bingung, karena pasukannya tersebar di berbagai tempat yang jauh, sehingga sulit untuk dipersiapkan secara efektif. Pasukan Blücher terpusat di Ligny, sebuah desa yang berjarak 21 kilometer di timur laut Charleroi, dan Wellesley di desa Quatre Bras, 23 kilometer di utara Charleroi. Prancis mengarahkan pasukannya serentak kedua lokasi.
Di Ligny, Prancis dengan mudahnya mengalahkan pasukan Prusia. Desa itu dibakar oleh kedua belah pihak, yang dilanjutkan dengan larinya pasukan Prusia ke Brussels. Sedang Quatre Bras sedikit lebih rumit.
Baca Juga: Pengaruh Politik Revolusi Prancis yang Berkelana Hingga Hindia Belanda
Sore 17 Juni, Arthur Wellesley menaiki bukit di selatan Waterloo. Dia melihat Napoleon menunggangi kuda dengan jelas dengan teropong sedang bersuka ria bersama pasukannya, diiringi irama musik. "Sementara pasukan kavaleri mengangkat opi dan pedang mereka seakan-akan mereka telah memenangkan pertempuran," tulis Butler dkk.
Wellesley menetapkan lokasi pertempuran di Waterloo, dengan menaruh pasukannya di château Pertanian Hougomont. Tentara Prusia mengikuti dengan menaruh pasukannya di benteng La Haye Sainte sebagai markas, yang tak jauh dari tempat Wellesley berada. Sebagian pasukan Prancis yang salah satu pimpinannya adalah Jérôme Bonaparte, menempati La Belle Alliance yang lebih selatan.
Puncak pertempuran
Pertempuran dimulai ketika Jérôme memimpin divisinya maju untuk memperebutkan château Hougomont dengan menembakkan artileri. Tembakan itu menyebabkan kebakaran dan merembet ke gedung-gedung sekitarnya. Masalahnya menembak itu memakan waktu, sehingga Napoleon berpaling untuk mengincar pasukan tengah Sekutu.
18 Juni pukul 13.30 Michel Ney, seorang marsekal Napoleon, mengirimkan 74 meriam ke atas punggung bukit dan mengarah ke La Haye Sainte, bersama 17.000 infanteri. Mereka menargetkan serangan bagian tengah dan sayap kiri Wellesley.
Baca Juga: Kisah Dua Orang Pangeran Makassar di Negeri Napoleon Bonaparte
Serangan itu memakan korban besar bagi brigade Belgia-Belanda yang disekitarnya karena tidak terlindungi. Berbeda dengan Inggris yang langsung berlindung atas instruksi Wellesley.
Sementara Marsekal Ney mendekati puncak bukit, mereka diserang dengan tembakan dan bayonet dari infanteri yang dipimpin Jenderal Sir Thomas Picton. Picton saat ini oleh tembakan yang mengenai kepalanya. Kemudian kavaleri berat yang dipimpin Lord Uxbridge menambah serangan itu.
"Napoleon kemudian memerintahkan Ney untuk mengamankan La Haye Saints, yang dianggapnya kunci kekuatan Sekutu," terang Butler dkk. "Ney mengerahkan dua batalyon, bisa dimengerti kalau dia yakin bahwa pasukan ini sudah cukup untuk menjalankan tugas tersebut, terutama karena dia melihat apa yang dianggapnya sebagai tanda-tanda penarikan Sekutu."
Namun pasukan Sekutu sama sekali tidak mengundurkan diri, melainkan membuat formasi pertahanan kokoh dan membuat rentetan penghalang artileri. Akibatnya, pasukan Prancis kelelahan karena tidak dapat menaklukan.
Sementara, Blücher hendak membantu Inggris, tapi hujan deras yang tiba-tiba membuat meriam-meriamnya terperosok di jalan perdesaan. Komunikasi pun nyaris terputus antara Jerman dan Inggris. Para ahli, sebagaimana yang dilaporkan National Geographic Indonesia 2018, hujan deras yang mengguyuri Eropa secara misterius ini disebabkan perubahan atmosfer akibat erupsi Gunung Tambora.
Baca Juga: Kekalahan Napoleon di Perang Terakhirnya Disebabkan Erupsi Tambora?
Di sisi lain, Sekutu menyerang garis belakang Napoleon di desa Plancenoit. Pasukan Prancis berusaha mempertahankan pondok-pondok sekitar, hingga akhirnya Napoleon mengirimkan 4.000 pasukan cadangan elit. Korps kedua Prusia juga tiba dari arah timur untuk membantu pasukan Sekutu pimpinan Fiedrich Wilhelm von Bulow. Terpaksa, Prancis meninggalkan desa itu karena menderita kekalahan.
Napoleon melanjutkan pergulatannya di La Haye Sainte yang juga ada pasukan pimpinan Ney. Pasukan itu menembaki terus benteng, membuat Sekutu kewalahan membuat pertahanan dan mengubahnya sebagai pos pasukan terluar Prancis. Mereka berusaha untuk memisahkan pasukan Wellesley dan Blücher, dengan dugaan bila salah satunya mundur, yang lain akan mengikuti.
Kekalahan Napoleon
Ney terus mendesak ke bagian tengah Sekutu, dan Napoleon mengerahkan pasukan elit Garda Muda untuk menghalau Prusia dari Plancenoit. Inggris melihat peluang untuk memutus rencana serangan Ney.
Napoleon mengerahkan pasukan Garda Menengah dan Garda Tua dari pasukan cadangan untuk membantu Ney yang berusaha membuka jalan ke Brussels. Sayangnya, pasukan itu disergap meriam Sekutu yang sejak awal telah bersiap untuk menghadapi mereka. Di sinilah titik mulai sirnanya harapan Prancis.
Prajurit Prancis lainnya dihalau oleh pasukan Belgia dan Belanda untuk kembali ke bawah bukit. Lalu, Duke of Wellington membuat kejutan dengan mengerahkan pasukan Foot Guards--pasukan istana Kerajaan Inggris--untuk menembak dan menyerang dengan bayonet tanpa ampun.
Prancis akhirnya mengundurkan diri dari posisinya, dan dikejar oleh Sekutu yang membuatnya kacau balau. Napoleon melarikan diri begitu saja tanpa ada instruksi penarikan mundur.
Baca Juga: Analisa Tinta Ungkapkan Rahasia dalam Surat Cinta Marie Antoinette
Pertempuran ini mengakibatkan Sekutu kehilangan 15.000 prajurit, dan 7.000 untuk kalangan Prusia. Sementara Prancis diperkirakan ada 25.000 prajurit yang menjadi korban gugur dan terluka, sementara 8.000 lainnya menjadi tawanan. Meriam-meriam Prancis pun disita.
"Pertempuran Waterloo mengakhiri 26 tahun perperangan antara kekuatan sekutu Eropa dengan Prancis, serta mengakhiri 100 hari pemerintahan Napoleon," ungkap Butler dkk. "Dia diasinbgkan secara permanen ke St. Helena, di mana dia meninggal dunia tahun 1821."
Michel Ney ditangkap oleh pemerintah Prancis sebab ia adalah yang dahulunya membelot kerajaan ketika revolusi pecah. Dia dihukum tembak atas sikapnya yang mendukung Napoleon. Nasib baik justru didapatkan oleh Duke of Wellington yang dianggap sebagai pahlawan seantero Eropa.
Baca Juga: Perang Trafalgar: Kekalahan Armada Laut Napoleon oleh Tentara Inggris