Sementara banyak masyarakat dunia menyaksikan proses pemilihan presiden di AS, kompetisi lain sedang berlangsung dan, meski tidak terlalu sengit, dapat berdampak signifikan bagi masyarakat internasional. Kompetisi tersebut adalah pemilihan sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berikutnya.
Delapan negara telah mengajukan kandidat sejak proses nominasi resmi dibuka bulan Desember lalu. Untuk pertama kalinya, separuh dari mereka adalah perempuan.
Sebelumnya, sekretaris jenderal dipilih secara tertutup, namun tahun ini, untuk pertama kalinya, proses ini akan terbuka untuk umum.
Minggu ini, para kandidat akan secara terbuka diwawancarai oleh negara-negara anggota mengenai kualifikasi mereka untuk posisi teratas tersebut serta visi mereka untuk organisasi dunia itu, dalam "dialog informal" selama dua jam dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Mulai hari Selasa (12/4), setiap kandidat akan mendapat waktu 10 menit untuk menjelaskan visi mereka bagi lembaga berusia 70 tahun itu dan kemudian menjawab pertanyaan dari negara-negara anggota.
Kelompok-kelompok masyarakat madani juga akan berkesempatan mengajukan pertanyaan lewat video pendek yang telah dikirimkan kepada presiden Majelis Umum.
Keragaman Regional
Secara tradisional, peran diplomat teratas dunia itu dirotasi berdasarkan wilayah. Sekretaris Jenderal PBB saat ini, Ban Ki-moon berasal dari Asia, sementara pendahulunya, Kofi Annan, dari Afrika.
Eropa Timur berharap mendapatkan giliran tahun ini dan sejauh ini menominasikan enam kandidat -- dari Bulgaria, Kroasia, Makedonia, Moldova, Montenegro dan Slovenia.
“Tidak ada aturan yang pasti bahwa kandidat dan sekretaris jenderal berikutnya harus datang dari wilayah khusus," ujar Dan Thomas, juru bicara presiden Majelis Umum.
Sekretaris atau Jenderal?
PBB menggambarkan jabatan teratas itu sebagai gabungan antara "diplomat dan advokat, pegawai negeri dan CEO" dengan porsi yang sama. Sejumlah pihak telah bertanya apakah posisi itu membutuhkan seorang sekretaris atau jenderal.
Sementara dunia menghadapi tantangan-tantangan serius -- termasuk pengungsian warga sipil terbesar sejak Perang Dunia II, peningkatan ancaman terorisme global dan dampak perubahan iklim -- banyak diplomat mengatakan organisasi itu memerlukan pemimpin yang kuat.