Kota adalah area penting untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim. Pada tahun 2050, lebih dari dua pertiga umat manusia akan tinggal di kota.
Akibatnya, kota menghasilkan sekitar 80 persen dari Gross Domestic Product (GDP) global dan mengandung lebih dari 60 persen dari seluruh emisi CO2.
Di negara-negara berkembang di Asia, urbanisasi terjadi pada kecepatan yang tinggi. Pada 2030, 7 dari 10 pusat-pusat perkotaan terbesar di dunia akan berada di Asia.
Lebih dari 55 persen penduduk China tinggal di kota hari ini. Pada tahun 2030, 70 persen atau sekitar satu miliar penduduk China akan tinggal di daerah perkotaan.
Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, kota-kota di dunia perlu mengembangkan daerahnya menjadi rendah karbon.
Pengembangan infrastruktur dan fasilitas pendukung menarik penduduk ke kota-kota. Fasilitas ini termasuk kesehatan, pendidikan, inovasi dan budaya. Dengan demikian, infrastruktur cerdas adalah kunci untuk mengurangi emisi CO2.
Kota pintar
Apa sebenarnya yang disebut kota pintar?
Kemajuan digitalisasi dan otomatisasi dalam infrastruktur membuat perbaikan sesignifikan mungkin, bahkan melalui investasi yang relatif kecil.
Siemens menunjukkan bagaimana infrastruktur cerdas secara signifikan dapat mengungguli sistem yang ada.
"Misalnya, mempercepat lalu lintas sebesar 20 persen, meningkatkan kapasitas kereta 30 persen, mengurangi konsumsi listrik di gedung-gedung 30 persen, atau menghemat hingga 40 persen pembangunan jaringan listrik," ujar Member of the Managing Board, Siemens AG Roland Busch.
Dampak positif teknologi cerdas juga dibuktikan di Paris, yakni di bidang transportasi.
Metro Line 1 adalah rel tertua di Paris dan telah beroperasi selama 115 tahun. Keretanya mengangkut sekitar 750.000 orang per hari. Setelah sistem ditingkatkan, kereta ini bisa beroperasi tanpa masinis.
Kapasitas juga meningkat sebesar 20 persen.
Perubahan energi terbarukan
Pembicaraan soal iklim tahun lalu di Paris, COP21, menyampaikan pesan yang jelas bahwa campuran energi perlu diversifikasi.
Sumber energi terbarukan seperti surya, angin, dan limbah tidak hanya mengurangi gas rumah kaca tapi menjadi menarik secara ekonomis.
Misalnya, biaya listrik dari panel surya telah turun 50 persen dalam lima tahun terakhir. Penurunan serupa juga terjadi pada harga baterai lithium-ion isi ulang.
Hal ini berdampak pada pasar pembangkit listrik. Pada tahun 2014, hampir 60 persen dari semua investasi baru di pembangkit listrik berpindah ke sumber energi terbarukan.
Menjalankan infrastruktur pembangkit listrik yang ada secara lebih efisien adalah contoh lain. Dengan mengurangi kerugian dalam transmisi dan distribusi akhirnya juga mengurangi tekanan pada jaringan listrik.
Hal ini juga menurunkan jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menginstal kapasitas pembangkit listrik baru.
Contoh terakhir berkaitan dengan bangunan. Secara global, bangunan mengkonsumsi sekitar 40 persen dari seluruh energi primer dan menghasilkan sekitar sepertiga dari total emisi CO2 yang berhubungan dengan energi global.
"Kami mengoptimalkan WAFI kompleks bangunan Dubai yang meliputi hotel, pusat perbelanjaan dan beberapa fasilitas kesehatan dan rekreasi dengan sistem otomasi bangunan state-of-the-art. Sistem ini telah mengurangi konsumsi energi sebesar hampir 20 persen," jelas Busch.