Memintal Cerita Wastra Asli Bumi Laskar Pelangi

By , Rabu, 4 Mei 2016 | 11:00 WIB

Kain erat kaitannya dengan budaya di Indonesia, tak jarang selembar kain bisa menjadi identitas pemakainya, serta menjadi identitas suatu daerah. Tak banyak jejak yang ditinggalkan pendahulu mengenai wastra asli dari Belitung, bahkan diantara foto-foto lama yang ditemukan di Rumah Adat Belitung yang menjadi etalase budaya Kabupaten Belitung.

Diantara jejeran foto lama Belitung yang terdapat di Rumah panggong yang beralamat di Lesung Batang, Tanjung pandan tersebut terlihat beberapa perempuan Belitung berpose dengan kain batik khas Jawa maupun songket khas Palembang. Pada jaman perdagangan dahulu, kawasan Belitung merupakan kawasan transit yang menjadi tempat singgah bermacam pedagang dengan berbagai latar belakangnya tak heran jika banyak barang-barang dari luar Belitung terekam dimasa lampau.

Nunik Febrianti, pengurus Museum Rumah Adat Belitung menjelaskan bahwa secara spesifik Belitung tak memiliki catatan secara spesifik mengenai kain tradisional, pun kalaupun warga Belitung mengenal Cual, kain tenun yang lebih terkenal sebagai kain Khas Bangka.

Tak mudah menemukan pengerajin kain Cual khususnya di Belitung. Tak ada tradisi menenun secara turun temurun seperti yang biasa ditemukan di kawasan Indonesia Timur. Kebanyakan kain Cual yang ditemukan merupakan produk Pulau Bangka, pun jika menemukan buah karya penenun dari Belitung hanya akan ditemukan beberapa saja yang pembuatannya pun terkonsentrasi pada satu daerah.

Kain Cual telah masuk ke Belitung sejak bertahun-tahun lampau namun baru tahun 2009 geliatnya mulai terasa. Sebanyak 3 orang perwakilan Belitung dididik selama 1 bulan mengenai tata cara menenun Cual oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Bangka Belitung, salah satunya adalah Markana (28), perempuan dari Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan yang saat itu baru saja lulus Sekolah.

“Waktu pelatihan dulu orang 3 tapi yang dua nggak tahan, capek katanya. Kalau kami biar lah bisa bantu-bantu ekonomi keluarga,”Markana mengungkapkan alasannya bertahan menjadi pengerajin kain Cual selama hampir 7 tahun.

Dahulu Markana mengerjakan pembuatan Cual di rumahnya, baru pada tahun 2015 Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Bangka Belitung mendirikan bangunan yang digunakan sebagai sanggar sekaligus gerai penjualan produksi kain Cual yang dibuatnya. Sanggar Cual yang dikelola oleh Markana merupakan satu-satunya tempat produksi kain tradisional Bangka Belitung.

Saat ditemui di Sanggar pembuatan kain Cual, terlihat ada beberapa penenun lain yang sedang bekerja, menurut Markana para penenun yang ada saat ini adalah warga sekitar sanggar yang tertarik dan mau secara konsisten bekerja merangkai helai demi helai benang untuk menghasilkan selembar kain berkualitas tinggi. Saat ini terdapat 4 pengerajin tenun yang bernaung di Sanggar Cual yang berada di Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung itu. Selain Markana, 3 pengerajin lain merupakan pengerajin baru yang dididik oleh Markana.

“Yang biasanya nenun kan ibu-ibu kalau yang mudanya paling cuma ingin belajar aja.

Banyak sih yang mau belajar, tapi kita alatnya cuma ada 4, jadi kalau dipinjamkan kesana kita nggak bisa produksi,”cerita Markana.

Dilema yang diungkapkan Markana tak muluk-muluk, mengingat produksi selembar kain berukuran 2 meter bisa menghabiskan waktu hingga 1 bulan lamanya tergantung pola yang akan tercetak pada kain. Terdapat beberapa pola yang biasa diproduksi oleh Markana dan rekan-rekannya antara lain Cak Rebung, Tawor, Bebek Setaman yang merupakan pola umum yang biasa ditemukan di kawasan Bangka Belitung.

“Kita belum punya motif sendiri, baru mau merancang untuk motif asli Belitung. Kalau sekarang , apa yang ditemukan disini juga ditemukan di Bangka,”Tambah Markana

Dengan kerumitan cara membuatnya, sehelai kain Cual dibanderol seharga 2 hingga 3 juta rupiah, bahkan bisa melebih mahal saat menggunakan banyak benang beraksen emas. Tingginya harga Cual, diakui Markana berdampak pada sulitnya penjualan tentunya juga berpengaruh pada ekonomi para pengerajin.

Belitung sebenarnya tak hanya memiliki Cual sebagai kain tradisionalnya. Di Belitung Timur, jenis kain batik menjadi wastra andalan. Dikembangkan melalui tangan dingin Linda Juliastiani, Batik Belitung seketika menjadi buah tangan khas Belitung Timur.

“Jadi awalnya waktu ada acara Saya disuruh pakai pakaian khas daerah. Aduh, bingung waktu itu mau pakai apa yang benar-benar khas. Ya sudah kenpa nggak buat sendiri aja?,”ungkap Linda yang juga Istri dari Basuri Tjahaja Purnama, mantan Bupati Belitung Timur periode 2010 – 2015.

Linda Juliastiani, mengembangkan batik khas Belitung. (Rynol Sarmond)

Sebelum memilih mengembangkan Batik ala Belitung, Linda yang pernah menjabat sebagai ketua PKK dan Dekranasda Belitung Timur, sebenarnya telah mencoba mengajak masyarakat untuk mengembangkan tenun tradisional khas Bangka-Belitung namun mendapat respon yang kurang baik.

“Pernah tanya apakah mereka pernah tenun? Pernah, jawabmereka tapi ditinggalkan,”ungkap Linda.

Sadar ikut memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, Linda mengaku selalu mencoba mengembangkan masyarakat sesuaikeadaan mereka. Melalui berbagi keterampilan ia mencoba menggerakkan ekonomi masyarakat setelah tidak bisa lagi mendapatkan penghasilan dari menambang timah. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Linda memilih mengembangkan Batik didasari dari cara pembuatan yang lebih sederhana ketimbang tenun dan harga jual yang lebih terjangkau.

Sekarang, setelah tak lagi memegang jabatan apapun, Linda tetap mengembangkan Batik sebagai buah tangan khas Belitung Timur melalui Galeri Batik De Simpor yang dikelolanya. Galeri ini berada di kediaman Linda yang terletak di Jalan KA Bujang, Gantung, Belitung Timur satu area dengan Kampoeng Ahok yang merupakan salah satu tujuan wisata di Belitung Timur.

Diakui Linda, pada awalnya perlu waktu lama untuk memperkenalkan batik pada masyarakat Belitung Timur terlebih masyarakat Belitung tak memiliki latar belakang budaya membatik. Namun usaha Linda saat tak sia-sia kini Belitung Timur memiliki kain yang bisa mereka banggakan.

Untuk menguatkan identitas sebagai kain khas Belitung, Linda menggunakan motif-motif yang diambil dari flora dan fauna khas khususnya Belitung Timur serta keunikan dari keseharian masyarakat Belitung Timur yang kadang luput oleh masyarakat lokal.

“Karena saya bukan orang sini jadi bisa melihat apa yang khas dari daerah ini. Apa yang berbeda dari diluar sana. Sebenarnya banyak sekali yang khas dan masih banyak juga yang mau di explore,”jelas Linda yang berasal dari Jakarta ini.

Flora asal Belitung Timur yang menjadi inspirasi motif Batik adalah bunga dan daun Simpor, BungaKeremunting,  Sengkelud,  Bunga Tepongserta tak ketinggalan sahang atau lada yang menjadi komoditi utama Belitung. Ikan Cempedik, Kancil, Trenggiling danArwana juga menjadi acuan desain Batik yang diproduksi. Keseharian masyarakat pun tak luput dari insting kreatif Linda. Motif cangkir kopi yang tertuang diatas kain mewakili kegemaran warga Belitung Timur yang gemar bercengkrama di warung kopi. Ada juga motif Kapal Kater yang merupakan perahu khas masyarakat Belitung.

Meski banyak memberikan masukan soal motif, ternyata Linda memberikan kebebasan bagi para pengerajinnya untuk berkreasi menentukan warna pada kain yang mereka buat. Tak heran jika wisatawan akan menemukan kain batik dengan beragam warna mulai dari warna-warna cerah yang berani, warna-warna pastel yang lembut hingga warna-warna gelap sebagai dasarnya.

Batik khas Belitung Timur menggunakan teknik pembuatan yang cukup sederhana. Kebanyakan kain dipola menggunakan teknik cap, setelah itu barulah para pengerajin mewarnai batik dengan cara dilukis. Ada pula batik yang diproduksi dengan teknik cap saja maupun lukis saja. Aneka teknik membatik ini nantinya akan berpengaruh terhadap harga jual selembar kain yang mereka produksi juga banyaknya kain yang dihasilkan. Dalam seminggu Galeri batik De Simpor bisa menghasilkan ratusan helai kain batik yang dijadikan buah tangan para wisatawan.

Dengan harga yang cukup terjangkau namun tetap menguntungkan bagi pengerajinnya, Galeri Batik Daun Simpor memasarkan bati baik yang masih berbentuk kain maupun telah berbentuk pakaian jadi. Sehelai kain batik bisa ditebus seharga 200 ribu  hingga 500 ribu sesuai dengan kesulitan pembuatannya. Untuk batik yang telah dijahit menjandi pakaian jadi harganya lebih beragam lagi.

Galeri Batik Daun Simpor menjadi tempat produksi sekaligus tempat penjualan bagi batik khas Belitung Timur. Semua batik yang dijual pun merupakan batik yang diproduksi di tempat yang sama. Menurut Linda, saat ini di Belitung Timur belum tumbuh industri batik rumahan seperti di Jawa, masalah utamanya adalah ketersediaan bahan dan alat produksi sehingga saat ini pembuatan batik khas Belitung Timur masih terkonsentrasi di tempatnya.

Pemasaran dan sumber daya manusia dirasa Linda masih menjadi kekurangan dalam pengembangan batik khas Belitung Timur. Pada awalnya terdapat 70 lebih pengerajin yang dilatih namun kini hanya ada 6 orang pembatik yang tergabung di Galeri Batik Daun Simpor. Untuk pemasaran, Linda masih menggantungkan pada Galeri Batik Daun Simpor. Meski sudah mencapai angka penjualan yang cukup baik, Linda masih berharap bisa memasarkan batik khas Belitung Timur lebih luas lagi dengan harga yang terjangkau.

Baik Linda maupun Markana, mereka merupakan para punggawa terciptanya kain khas bumi laskar pelangi. Perhatian dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk mendukung perjuangan yang telah mereka mereka mulai dalam selembar kain yang akan menjadi indentitas pulau Belitung.