Bagi penikmat kopi, tentu tahu benar jenis kopi yang berasal dari seluruh Indonesia memiliki ciri khas rasa yang berbeda. Tak terkecuali kopi Gayo, yakni kopi yang dihasilkan dari kawasan dataran tinggi meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Meski Gayo merupakan daerah penghasil kopi arabika terbesar di Asia Tenggara, tetapi kopi Gayo bukanlah satu-satunya kopi yang ada di Indonesia. Masih ada berbagai jenis kopi dari Sumatera Utara, Lampung, Toraja, dan Papua dengan varietas yang berbeda. Namun percaya atau tidak, setiap biji kopi ternyata memiliki takdir yang berbeda.
Seperti yang dijelaskan Iwan Juni, seorang pelaku industri kopi olahan yang sudah malang melintang di dalam dunia minuman berkafein asal Kabupaten Bener Meriah. Dia menjelaskan bagaimana metode Copdev meliputi Cup, Origin, Proscess, Density dan Equipment serta Varietal yang harus dilakukan seorang roast master sebelum menyangrai kopi.
Iwan Juni mengatakan itu usai melakukan praktek pada kegiatan Training Coffee Maker yang digelar DPD II KNPI Aceh Tengah di Takengon, Kamis (6/5/2016). Metode Pendekatan Copdev kata Iwan, dimulai dengan metode Cup, yakni menentukan untuk jenis seduhan apa kopi tersebut akan digunakan.
"Seduhan untuk espresso-base atau untuk manual brewing, bisa saja mensyaratkan derajat sangrai yang berbeda," terang dia. (Baca : Warga Jeju Berlomba Cicipi Kopi Indonesia)
Selanjutnya adalah Origin atau asal sumber kopi, setiap wilayah penghasil kopi dengan tinggi yang berbeda, akan menghasilkan kualitas yang berbeda pula.
"Misalnya saja seperti kopi dari kawasan tanah vulkanik, akan berbeda dengan dengan kopi yang berasal dari pinggiran danau," lanjut Iwan Juni yang telah merambah pemrosesan kopi sejak 2010 lalu.
Berikutnya Process, dalam bagian ini seorang roast master haruslah mengetahui bagaimana proses perlakuan biji kopi paska panen.
"Baik atau buruknya kualitas kopi juga bergantung perlakuan paska panen," ungkap dia.
Baik Origin dan Process, menurut Iwan Juni tidak jauh berbeda dengan Density (Kerapatan masa kopi). Ketiga pendekatan itu akan membedakan karakter kopi yang satu dengan kopi yang lain.
Berikutnya roast master perlu memahami Equipment (penyangrai). Penyangrai dengan banyak variabel yang bisa diatur dengan penyangrai yang otomatis serta penyangrai dengan sistem pendistribusian energi secara direct, indirect, atau hot air akan membuat hasil akhir sangraian berbeda.
"Pemahaman seorang roast master terhadap mekanisme kerja penyangraian sangat krusial," kata Iwan Juni lagi. (Baca pula : Kopi Indonesia Mendunia di Gothenburg)
"Bagian terakhir dari metode pendekatan Copdev adalah Varietal atau varietas kopi, roast master haruslah memiliki database karakter masing-masing varietas, sehingga dapat mengoptimalkan kekhasan yang menjadi kelebihan varietas tertentu," tambah dia.
Bagi Iwan Juni, dengan metode pendekatan Copdev, seorang roast master dapat meminimalisir kegagalan penyangraian yang dapat berakibat pada citra kopi yang disajikan kepada penyeruputnya.
Bicara tentang penyangraian lanjut dia, kopi tidaklah dapat berbicara, tetapi seorang roast master harus paham dan mengerti, bagaimana memperlakukan atau mengolah kopi.
"Kesimpulannya, setiap biji kopi memiliki takdir yang berbeda," ungkap Iwan Juni.