Kasus kejahatan seksual secara bertubi-tubi menghiasi media. Belum selesai kasus Yuyun yang tewas menyedihkan seusai diperkosa ramai-ramai, publik kembali geger dengan meninggalnya Eno Farihah, yang dibunuh secara sadis. Kedua kasus ini belum reda menjadi perhatian publik, kasus baru yang lebih memprihatinkan muncul lagi dan lagi. Yakinlah, ibarat fenomena gunung es, kasus-kasus di atas hanya sedikit yang ditangkap media dari sekian banyak kasus yang terjadi. Yang lebih memprihatinkan, pelaku kejahatan seksual tersebut banyak yang masih remaja, masih duduk di bangku SMP dengan umur belasan tahun. Ada apa dengan remaja sekarang, sehingga tega melakukan kejahatan seksual? Benarkah ada pola asuh yang salah yang berisiko lahirkan pelaku kejahatan seksual?
Menjawab hal itu, dra Fitriani M Syahrul, Psi. M.Si menganggukkan kepala. “Pola asuh berperan signifikan pada perilaku seseorang, perannya sekitar 85-90%. Perilaku negatif seperti kejahatan seksual boleh jadi disebabkan oleh pola asuh yang salah, meski hal itu bukan satu-satunya faktor.”
Tak jarang, kesalahan pola asuh ini tidak berkaitan dengan tingkat pendidikan ataupun status ekonomi. “Meski orangtuanya intelek, pendidikannya S2 (master), tapi kalau pola asuhnya salah tetap akan melahirkan anak-anak dengan gangguan perilaku, termasuk pelaku kejahatan seksual,” ungkap psikolog yang juga staf pengajar di Universitas Al-Azhar ini.
Apa sajakah kesalahan pola asuh yang berisiko melahirkan pelaku kejahatan seksual, berikut di antaranya:
- Kurangnya Perhatian
Tuntutan hidup saat ini kadang mengharuskan kedua orangtua bekerja. Di sinilah salah satu letak permasalahannya. Kesibukan bekerja membuat orangtua sulit meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak. Pergi pagi dan pulang malam sehingga tidak sempat bersua dengan anak. Orangtua juga cuek dan merasa sudah memberikan yang terbaik bagi anak dengan memberikan uang jajan yang cukup, memilihkan sekolah yang bagus, dan menyediakan kebutuhan fisik lainnya.
Padahal, yang anak butuhkan tidak hanya kebutuhan fisik, tapi psikis berupa perhatian, komunikasi, sentuhan, belaian, dan lainnya. Interaksi anak dan orangtua sebaiknya dilakukan setiap hari. Tidak harus setiap waktu, tapi dalam sehari harus ada interaksi dan komunikasi. Semua itu harus dimulai sedini mungkin, sejak masa bayi, balita, anak, dan seterusnya. Ingat membentuk kepribadian ibarat membangun pondasi rumah, setahap demi setahap, sejengkal demi sejengkal, begitu terus sampai anak dewasa.
Bila itu tidak dilakukan maka pondasi akan rapuh dan mudah runtuh. Artinya, anak yang kosong perhatian, akan mencarinya di tempat lain, dan memuaskannya dengan caranya sendiri. Di sini gangguan perilaku termasuk kejahatan seksual tinggal menunggu waktu dan pemicu.
2. Pengawasan yang Kurang
Masih ingat dengan para pembunuh Yuyun di Bengkulu? Bagaimana bisa orangtua membiarkan anaknya berteman dengan orang lebih tua dan mabuk-mabukan? Semua itu jelas tidak berlangsung satu atau dua hari, tapi sudah berlangsung lama. Nah,di sinilah fungsi pengawasan orangtua sejatinya berperan. Ketiadaan pengawasan membuat anak tidak terkontrol perilakunya, apalagi bila lingkungannya juga bermasalah, anak bisa ikut terjerumus kepada perilaku yang keliru.
Apalagi anak-anak saat ini memiliki beban berat saat menjalani kehidupannya. Ia mungkin tertekan oleh pekerjaan rumah yang menumpuk, tuntutan orangtua agar bisa berprestasi, pola asuh orangtua yang keras tanpa pernah memberikan rewards, mendapat bullying dari teman-temannya, dan masih banyak lagi. Semua itu menumpuk dan menjadi beban tak ringan bagi anak. Nah, sebagai kompensasi, anak mencari sesuatu yang membuatnya nyaman sehingga lepas dari tekanan.
Sangat mungkin anak mencari jalan salah untuk berileksasi seperti menonton tayangan pornografi, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan masih banyak lagi. Apalagi akses terhadap hal-hal itu sangat mudah. Untuk pornografi, misalnya, banyak orangtua yang sudah memberikan handphone sekaligus berlangganan paket data pada anaknya. Anak pun bisa mengklik tayangan negatif sesuka hati. Kalau sudah kecanduan, efek negatifnya tinggal menunggu waktu.
3. Pola Asuh Otoriter dan Permisif
Baik pola asuh otoriter maupun permisif, keduanya berdampak negatif pada anak. Otoriter berarti pola asuh pola asuh ini cenderung keras dan sarat ancaman. Misal, kalau makanannya enggak dihabiskan, kamu enggak boleh menonton teve. Orangtua cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orangtua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Tidak ada kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. Anak tipe ini berisiko menjadi pembangkang atau senang main belakang, di depan penurut tapi di belakang menjadi pelanggar.