Menyelisik Elang Alap dari Gandang Dewata

By , Rabu, 25 Mei 2016 | 19:00 WIB

Ketika saya ke pasar hobi di Toddupuli, Makassar, medio Mei lalu, suara burung bersahut-sahutan. Ada Beb, nuri, gagak, kepodang, sampai pipit. Ada kandang jaring kawat berukuran 1 x 1 meter, penuh sesak puluhan jalak tunggir merah. Keadaan sama dialami serindit Sulawesi. Burung-burung itu dari Sulawesi, beberapa dari Maluku bahkan Papua.

Setiap hari, kawasan itu selalu ramai. Di belakang petak pedagang, ada lapangan luas–bekas terminal angkutan Toddopuli. Ada tiang-tiang besi berdiri, terhubung palang-palang dan cantolan menggantung sangkar. Di tempat ini, setiap pekan lomba kicau burung digelar.

Ketika menyambangi atau sekadar melintas tempat ini, pikiran melayang membayangkan, bila kepakan sayap burung-burung ini berakhir dalam sangkar.

Mereka layak hidup bebas. Di alam liar, suara burung terdengar lebih merdu dari nyanyian dari dalam sangkar yang bisa jadi adalah tangisan mereka.  Saya mengalami itu ketika ikut Ekspedisi Bireshourches Keragaman Hayati LIPI di Gandang Dewata Mamasa, Sulawesi Barat pada 16 April-4 Mei 2016.

Di Desa Rante Pongko, menuju kaki gunung ada kutilang terbang bermain, saling berkejaran dan hinggap di pucuk pohon atau bubungan rumah sambil berkicau. Ekor bergoyang naik turun, rambut di kepala berdiri. Di persawahan elang terbang memutar. Sayap membentang lebar.

Peneliti Burung LIPI, Tri Haryoko mengatakan, perdagangan burung dengan menangkap dari alam liar, salah satu ancaman. “Jika ada perdagangan burung, sebaiknya hasil penangkaran,” katanya.

Di alam, rantai ekosistem menempatkan tugas burung sebagai salah satu penyebar biji  terbaik, seperti julang Sulawesi atau kolibri menghisap nektar bunga. Jenis burung lain sebagai pengendali serangga.

Saya menyaksikan tugas beberapa burung itu langsung di Gandang Dewata. Burung kecil bermain di ranting-ranting tanaman kecil, beberapa kali terlihat menyambar serangga tertentu. Ketika sang burung berhasil, paruh menjepit serangga erat.

Sayangnya, selama pengamatan di Gandang Dewata, tak banyak burung memasuki masa breeding (berbiak). Anakan burung di sekitar kawasan berkurang. Hal ini ikut berpengaruh pada vertebrata lain yang menjadi sumber pakan.

Selama pengamatan, Tri  mengidentifikasi 54 jenis burung dari 10 ordo dan 28 famili dengan titik ketinggian antara 1.500–2.000 mdpl. Identifikasi itu, merupakan tipe burung pada persawahan, kebun dan hutan.

Dari jumlah itu, kata Tri, 32 jenis (27,35%) burung endemik  Sulawesi. “Dengan tambahan itu (identifikasi Gandang Dewata), dari keseluruhan jenis burung Sulawesi,  baru tercatat 12,98% dari total keragaman jenis.”  “Saya kira Gandang Dewata kawasan esensial  bagi kehidupan 27,35%  burung endemik Sulawesi.”!break!

Elang alap

Selasa (26/4/15),  seekor elang alap terjaring perangkap, sekitar satu kilometer dari basecamp penelitian LIPI. Tri, memegangi menggunakan kaos tangan. Burung itu berontak, kaki mungil dengan cakar tajam mencengkram jari. Paruh kecil ikut menggigit kaos tangan.