Riwayat Temuan Manusia Katai di Flores yang Gegerkan Dunia Arkeologi

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 22 Desember 2021 | 09:00 WIB
Raut wajah Homo floresiensis yang direkonstruksi oleh John Gurche, seniman asal Amerika yang pernah menjadi konsultan Jurassic Park. Sementara, kisah bertajuk Mereka yang Terlewatkan Waktu ditulis oleh Mike Morwood, Thomas Sutikna (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Richard Roberts. (Kenneth Garrett/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Mama Flo. Begitulah julukan populer yang merujuk Homo floresiensis. Dia adalah genus manusia (homo) purba yang sempat menjadi temuan menggemparkan dunia arkeologi pada awal abad 21 ini.

Managing Editor National Geographic Indonesia Mahandis Yoanata Thamrin menyebut temuan ini sebagai "cinta pertama kami" karena menjadi tajuk pertama kala versi bahasa Indonesia terbit pada 2005. Tanggapan itu diberikan dalam webinar penerbitan berbagai buku hasil penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Selasa (21/12/2021).

Temuan ini masuk daftar 100 keajaiban arkeologi di dunia yang ditulis oleh jurnalis sains Andrew Lawler yang dicuplik dalam majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Dia menyebut Homo floresiensis sebagai "keluarga termungil" yang ditemukan di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.

Jatmiko, peneliti utama Puslit Arkenas membuka cerita bagaimana Homo floresiensis ditemukan untuk membuka tabir sejarah peradaban manusia, lewat buku Cerita dari Flores: Liang Bua, dari Manusia Purba hingga Manusia Modern.

Gua seperti Liang Bua sangat cocok untuk menjadi amatan para arkeolog. Sebab lokasinya yang subur di antara dua sungai yang mengapitnya, menunjukkan adanya fungsinya di masa lalu sebagai tempat tinggal manusia purba. Setelah ekskavasi bertahun-tahun dilakukan, para arkeolog pun menemukan fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan.

Liang Bua pertama kali dilaporkan sebagai situs oleh misionaris Belanda Verhoeven tahun 1965. Pada 1946-1949, dia mendapatkan kabar bahwa sebelumnya lokasi ini menjadi sekolah bagi anak-anak setempat hingga akhirnya mengajak pastor lainnya pada 1950.