Nationalgeographic.co.id—Selama dekade terakhir, fosil kerabat manusia berukuran kerdil yang ditemukan di Flores, Indonesia telah memicu perdebatan sengit di kalangan peneliti mengenai asal-usul dan klasifikasinya sebagai spesies unik. Akan tetapi saat ini, sisa-sisa gigi dan tulang kemungkinan besar dapat menguak misteri “hobbit” atau dikenal juga sebagai Homo floresiensis.
Peneliti telah menemukan sisa-sisa manusia berusia 700.000 tahun—yang untuk pertama kalinya—di luar Gua Liang Bua, situs arkeologi di Flores yang menghasilkan fosil hobbit asli. Sampel yang jauh lebih tua ini menunjukkan kesamaan menarik dengan H. floresiensis, termasuk ukurannya yang kecil. Dengan demikian, hal tersebut memberikan bukti terbaik bahwa sisa-sisa fosil itu berpotensi sebagai leluhur hobbit.
“Sejak hobbit ditemukan, ada dua hipotesis utama tentang leluhurnya,” kata Gerritt van den Bergh, arkeolog Universitas Wollongong di Australia yang turut andil dalam penelitian ini.
Menurut salah satu teori, H. floresiensis merupakan bentuk kerdil dari Homo erectus, kerabat manusia purba yang hidup di Asia Timur dan beberapa bagian Afrika hingga sekitar 143.000 tahun lalu. Namun sebagian peneliti berpendapat bahwa hobbit bahkan berevolusi lebih awal, dari hominin dengan badan lebih kecil seperti Homo habilis atau Australopithecus.
“Penemuan baru ini menunjukkan bahwa Homo floresiensis memang bentuk kerdil Homo erectus dari Pulau Jawa, sekelompok kecil yang terdampar di Flores dan berkembang dalam isolasi," kata van den Bergh.
Penemuan fosil ini juga mengeliminasi teori bahwa hobbit merupakan bentuk Homo sapiens yang sakit, dengan kepala lebih kecil dan mengalami kondisi perkembangan yang terhambat seperti down syndrom atau mikrosefali.
Situs kedua
Para arkeolog menemukan fosil hobbit pertama ketika menggali Gua Liang Bua pada 2003. Kerabat manusia purba itu memiliki tinggi badan 1,1 meter dan berat sekitar 35 kg, dan merupakan individu dewasa.!break!
Penelitian lebih lanjut di Liang Bua mengungkap bahwa hobbit membuat peralatan batu. Tetapi tanpa sisa-sisa tambahan, sejarah evolusi mereka menjadi terselubung misteri.
Lokasi penggalian terbaru, yang disebut Mata Menge, terletak di Lembah Soa atau Soa Basin, Flores tengah, sekitar 74 kilometer di tenggara Liang Bua.
Sejak 2010, tim telah menemukan ribuan peralatan batu dan fosil-fosil gajah kecil, tikus raksasa, komodo dan buaya. Ketika peneliti memperluas penggalian mereka pada 2014, mereka menemukan sisa-sisa tengkorak hominin, termasuk satu fragmen rahang bawah, enam gigi dan sepotong kecil tulang tengkorak.
"Awalnya, kami pikir sedang berhadapan dengan rahang bawah dari spesimen remaja, karena itu sangat kecil, bahkan lebih kecil dari rahang Homo floresiensis," kata van den Bergh. "Tapi setelah CT scan, kami terkejut melihat bahwa rongga akar sepenuhnya telah berkembang, menunjukkan bahwa itu adalah spesimen dewasa."
Umur mengejutkan
Empat gigi yang ditemukan berasal dari individu dewasa yang sama dengan pemilik fragmen rahang bawah. Sementara itu, pemeriksaan lebih detail mengungkap bahwa dua gigi lainnya merupakan gigi susu, masing-masing milik dua anak yang berbeda. Tim kemudian menggunakan teknik statistik untuk membandingkan rahang bawah dan tulang gigi dengan fosil spesies lain seperti H. habilis, H. erectus dan H. floresiensis asli.
Analisis mereka mengindikasikan bahwa fosil dari Mata Menge paling mirip H. erectus, meskipun mereka berukuran jauh lebih kecil dan memiliki banyak fitur struktural yang mirip dengan H. floresiensis.
“Fosil sangat mirip, tetapi fosil Mata Menge sedikit lebih primitif dibandingkan dengan H. floresiensis dari Liang Bua,” ungkap penulis utama studi, Yousuke Kaifu yang juga merupakan arkeolog National Museum of Nature and Science di Tokyo, Jepang.
Untuk menentukan umur fosil, tim peneliti lain mengambil sampel dari lapisan sedimen sekitarnya dan menggunakan teknik penanggalan dengan tingkat akurasi tinggi yang disebut argon-argon, yang mengukur peluruhan radioaktif argon dari waktu ke waktu. Mereka juga mengisolasi fragmen gigi dan menggunakan kombinasi metode penanggalan berdasarkan peluruhan uranium.
Penelitian menunjukkan bahwa fosil ini berusia sekitar 700.000 tahun, membuatnya menjadi hominin tertua yang pernah ditemukan di Flores.
“Saya sudah menduganya, tetapi tetap terkejut ketika pertama kali melihat fosil dan menyadari fakta bahwa orang-orang sekecil itu hidup 700.000 tahun lalu, ketika Homo erectus yang berbadan besar hidup di berbagai bagian benua Asia,” lanjut Kaifu.!break!
Tulang belulang leluhur
Meskipun arkeolog belum bisa memastikan bahwa hominin tua tetap milik spesies yang sama dengan H. floresiensis, analisis menunjukkan bahwa penghuni Mata Menge kemungkinan adalah nenek moyang hobbit. Kategorisasi ini juga didukung oleh peralatan batu dari Mata Menge, yang memiliki kemiripan mencolok dengan yang ditemukan di situs Liang Bua.
Peneliti juga mencatat bahwa peralatan batu lainnya yang telah ditemukan di Flores bertanggal satu juta tahun lalu, di kisaran waktu sama dengan H. erectus yang tinggal di Jawa.
Menggabungkan semua bukti, kronologi bagaimana H. erectus menetap di Flores dan kemudian menyusut ke ukuran hobbit seperti yang ditemukan di Mata Menge dan Liang Bua mulai terungkap.
Beberapa orang skeptis mungkin berpendapat bahwa tidak masuk akal Homo erectus menyusut hanya dalam rentang waktu 300.000 tahun. Tetapi, Direktur Human Origins Program di National Museum of Natural History Institusi Smithsonian, Rick Potts mengungkapkan bahwa ada studi kasus tercatat dari mamalia lain yang menyusut dengan cepat karena merespon sumber daya yang terbatas atau kurangnya predasi. Misalnya, rusa merah di pulau Jersey menyusut menjadi seperenam dari ukuran aslinya hanya dalam waktu 6.000 tahun.
Dengan melanjutkan penggalian di Mata Menge, tim peneliti berharap dapat menemukan lebih banyak sisa-sisa tengkorak yang dapat memberikan deskripsi yang lebih kuat dari kerabat manusia ini, serta fosil lebih tua yang mungkin bisa membantu menghubungkan titik-titik perkembangan dan membentuk garis waktu yang kohern untuk cabang aneh di pohon evolusi kita.
“Saya pikir, Flores sendiri merupakan laboratorium kecil evolusi manusia yang pada akhirnya akan memungkinkan kita untuk memahami bagaimana tubuh manusia berkembang dalam merespon tekanan lingkungan,” ungkap Potts.
“Mungkin memang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkannya, tetapi saya pikir itu adalah kesempatan yang luar biasa,” pungkasnya.