Tiwah, Rukun Kematian Penuh Kebahagiaan

By , Kamis, 23 Juni 2016 | 16:00 WIB

Pada ritual tabuh satu dan tabuh dua, hewan kurban yang diikat di sapundu ditusuk menggunakan tombak oleh para keluarga dari masing-masing pemilik kerangka jenazah. Hewan ditombak sampai jatuh tersungkur ke tanah dan mati.

”Beberapa orang melemparkan butiran beras ke hewan kurban sebagai bentuk doa agar kurban diterima pencipta,” ungkap Marisa.

Begitu hewan-hewan kurban berjatuhan dan mati, beberapa orang dengan parang memotong kepala hewan-hewan itu. Penggalan kepala lalu dikumpulkan menjadi satu di sangkai raya sebagai makanan para roh.

”Daging dari hewan-hewan itu dimasak dan dibagikan kepada semua orang, ada yang membawa ke rumah, ada pula yang langsung memakannya di huma betang,” kata Marisa.

Anak-anak, orangtua, pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang agama berbeda menari sambil bernyanyi dengan penuh riang gembira setelah ritual pengurbanan selesai sampai malam menjemput. Mereka merayakan kenaikan roh keluarga mereka ke lehu tatau.

Wisata adat

Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Katingan, Mido mengatakan, kekayaan budaya, adat, dan istiadat di Kalteng merupakan potensi wisata yang luar biasa. Upacara tiwah selalu menjadi langganan para turis, baik lokal maupun asing.

”Mereka datang dari negara asal mereka untuk melihat upacara ini. Beberapa kali kami mendapatkan e-mail dari luar negeri yang menanyakan jadwal tiwah,” kata Mido.

!break!

Pemkab Katingan memang sengaja membuat upacara ini untuk menarik para turis. Tidak main-main, mereka merogoh kocek Rp 750 juta untuk mengadakan upacara kematian itu. Anggaran digunakan untuk membeli hewan kurban dan berbagai perlengkapan lainnya.”Selain untuk wisata, ini adalah bentuk partisipasi pemerintah dalam menjaga kebudayaan asli daerah,” kata Wakil Bupati Katingan, Sakariyas, yang saat itu bersama-sama masyarakat menari dan menyanyi dalam upacara.Sakariyas menambahkan, dengan adanya upacara tiwah, pemerintah berharap pemuda Dayak lebih mengenal identitas asli. ”Hanya di tangan para pemudalah kebudayaan asli Dayak tetap dijaga,” ujarnya.

”Ini sangat berarti bagi kami orang Dayak karena seperti melunasi utang, tiwah itu wajib harus dilaksanakan. Kami begitu bahagia karena kami percaya roh mereka sudah bersama Sang Pencipta,” ujar Kristino Sumedi (22), warga Kota Palangkaraya.

Upacara rukun kematian tingkat akhir, tiwah, di Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Kamis (2/6/2016). (Dionisius Reynaldo Triwibowo / Kompas.com)

Mulai ditinggalkan

Pemrakarsa Komunitas Folks of Dayak, komunitas pemuda Dayak yang mencari berbagai sumber untuk mencari sejarah dan jejak suku Dayak di Indonesia, Cakra Wirawan, mengatakan, upacara tiwah dahulu kala hanya dilakukan oleh orang Kaharingan. Seiring berjalannya waktu, orang dengan agama lain pun bisa melaksanakan upacara itu.

”Masalahnya bukan soal kepercayaan atau latar belakang agamanya, tetapi pemuda Dayak saat ini belum sepenuhnya mengenal identitas Dayak itu seperti apa,” ucap Cakra.

Menurut Cakra, masih banyak pemuda Dayak yang belum memahami ritual adat suku Dayak. Kaharingan sebagai kepercayaan asli suku Dayak sudah mulai ditinggalkan.

”Kalaupun tidak lagi Kaharingan, bukan berarti harus meninggalkan kebudayaan, adat, dan istiadat suku Dayak,” ujar Cakra.