Mitigasi di Daerah Bencana Lemah

By , Jumat, 24 Juni 2016 | 12:00 WIB

Mitigasi swadaya masyarakat di daerah rawan bencana masih lemah. Mereka cenderung abai dan kurang responsif pada potensi bencana. Kondisi ini diperparah dengan lambannya antisipasi pemerintah daerah setiap memasuki musim bencana. Akibatnya, korban jiwa terus berjatuhan setiap bencana melanda.

Penelusuran Kompas ke wilayah-wilayah terdampak bencana longsor di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (22/6/2016), menunjukkan, sebagian besar masyarakat tidak memiliki naluri mitigasi kendati tahu bahwa mereka tinggal di wilayah rawan bencana. Bahkan, pada kondisi genting, mereka cenderung mengabaikan tanda-tanda alam dan prosedur keselamatan.

Kepala Desa Kalinongko, Kecamatan Loano, Suyoto mengatakan, di desanya terdapat 30 keluarga yang berisiko terdampak longsor karena bertempat tinggal tepat di bawah dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Kendati sudah diberi tahu potensi longsor di daerah tempat tinggalnya, mereka tetap berkeras tinggal di lokasi itu.

"Sebagian dari mereka bersikeras tetap tinggal di daerah rawan bencana dengan alasan hanya memiliki tanah di daerah itu. Sebagian lainnya juga enggan pindah karena sudah nyaman tinggal di sana," ujarnya.

Pada bencana longsor di Banjarnegara, tiga korban longsor di Dusun Wanarata, Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, menyalahi standar mitigasi saat bencana mengancam. Kepala Urusan Keuangan Desa Gumelem Kulon Raswanto mengakui, ketiga korban, yakni Sudarno, Bahrudin, dan Wato, sesudah longsor awal, di tengah hujan deras, mengarahkan aliran air dari perbukitan. Upaya itu membuat aliran air parit makin besar sehingga memicu longsor susulan yang lebih besar dan menimbun mereka.

Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno menyatakan, kesadaran mitigasi masyarakat di sekitar lokasi bencana masih lemah. "Mereka belum paham, saat hujan harus seperti apa, harus mengungsi ke mana dulu. Atau setidaknya menghindari kegiatan-kegiatan yang mengancam keselamatan jiwanya," katanya.

!break!

Pembangunan pemukiman baru di sekitar hutan Leuser di Aceh Tenggara, yang diakomodir dalam RTRW Aceh. Foto: Chik Rini/Mongabay Indonesia

Penataan permukiman

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Ahmad Yurianto mengatakan, selama delapan tahun terakhir, pihaknya telah intensif membagikan naskah kebijakan mitigasi dan menyarankan penataan ulang kawasan permukiman.

"Namun, respons dari daerah bervariasi. Tidak semuanya cepat menanggapinya dengan melakukan relokasi warga di daerah zona rawan," ujarnya.

Menurut Subandrio, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Minera, masyarakat dan pemerintah masih abai terhadap potensi bencana dari gerakan tanah. Padahal, bencana dari gerakan tanah termasuk kategori membahayakan karena menewaskan 200 orang di Indonesia per tahun.

Selain korban jiwa, kerugian ekonomi akibat bencana di Jawa Tengah juga terbilang besar. Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, material akibat bencana di seluruh Jateng mencapai ratusan miliar rupiah.

Bupati Agus Bastian menyebutkan pula, akibat bencana banjir dan longsor ditaksir mencapai Rp 15,5 miliar. Kerugian meliputi kerugian infrastruktur, seperti jalan, jembatan, rumah warga, serta kerusakan lahan pertanian.