Menteri Kesehatan Nila Moeloek tetap bersikeras mengadakan vaksin ulang menyusul terungkapnya peredaran vaksin palsu.
Vaksin palsu tersebut kemungkinan mengandung cairan infus yang dicampurkan dengan gentacimin (antibiotika).
Dengan campuran tersebut, kata Nila, tubuh anak tak akan mendapatkan kekebalan.
Pernyataan tersebut diungkapkannya dalam rapat kerja bersama Komisi IX dan lembaga-lembaga terkait, Senin (27/6/2016).
"Oleh karena itu, tetap Kemenkes harus mengulangi pemberian imunisasi anak-anak yang terkena vaksin palsu ini," kata Nila, di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin.
Kementerian Kesehatan, kata Nila, akan meminta Bareskrim Polri agar secepatnya memberikan vaksin palsu yang disita untuk diteliti isi dan kandungan cairan tersebut.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Tengku Bahdar Johan Hamid mengatakan, BPOM sudah secara aktif meminta sampel dari Polri.
Akan tetapi, ada mekanisme yang harus dilalui.
"Kalau pun kami sudah minta sampel dari mereka, karena ini barang sitaan kami harus menunggu prosedur Kepolisian," kata Bahdar.
Ketua Komisi IX Dede Yusuf menyatakan heran karena BPOM berdalih belum mendapatkan sampelnya. Padahal, pengumuman perihal vaksin palsu yang dilakukan Bareskrim Polri sudah terjadi beberapa waktu lalu.
!break!Upaya pengungkapan kasus vaksin palsu ini berawal dari temuan penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri di tiga wilayah, yaitu Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, keberadaan vaksin palsu itu diketahui sudah mulai beredar sejak 2003 silam.
Saat ini, pihak aparat masih menggali informasi lebih jauh dari pelaku yang telah ditangkap.
Dalam penggeledahan beberapa waktu lalu, penyidik mengamankan barang bukti, yakni 195 saset hepatitis B, 221 botol vaksin polio, 55 vaksin anti-snake, dan sejumlah dokumen penjualan vaksin.
Polisi telah menetapkan 15 orang tersangka.
Mereka dijerat Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar dan Pasal 62 juncto Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.