Tragedi Lubang Bekas Tambang di Kalimantan

By , Senin, 11 Juli 2016 | 09:00 WIB

“Kedalaman lubangnya bermacam-macam. Ada yang mencapai 100 meter, ada yang 80 meter tetapi ada pula yang lebih dari 100 meter. Padahal sudah diatur dalam undang-undang, bahwa 30 hari pasca menambang itu, harus ditutup. Tetapi yang terjadi adalah, lubang tempat anak-anak menjadi korban meninggal itu, rata-rata lubangnya sudah ditinggalkan selama 3 atau 4 tahun, dan bahkan ada yang sudah lebih dari 5 tahun,” ujar Didit Haryadi.

Didit menambahkan, Jatam dan masyarakat sudah sepenuhnya tidak percaya terhadap kemampuan pemerintah daerah menyelesaikan kasus hukum ini. Harapan mereka kini sepenuhnya ada di pemerintah pusat.

Kasus lubang bekas tambang ini tidak hanya persoalan lingkungan dan kemanusiaan, tetapi juga kental dengan aroma korupsi. Jatam merekomendasikan sejumlah langkah untuk memulai upaya penyelesaiannya.

“Solusinya, yang pertama buat daftar semua lubang bekas tambang, terutama yang dekat dengan permukiman. Kemudian, cabut izin lingkungan perusahaan yang melanggar hukum, pidanakan mereka. Ketiga, pemerintah harus menghitung kerugian masyarakat, bukan hanya kerugian negara, atas kasus ini. Jangan pula lupakan kondisi psikologis masyarakat, terutama yang menjadi korban. Pemerintah harus mendampingi mereka,” ujar Didit Haryadi.

!break!

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengambil tindakan atas kasus ini, tetapi hanya berupa penyegelan kawasan tambang. Sementara pengusutan kasus hukumnya masih sangat lambat, diduga karena kekuatan lobi industri tambang dan dana besar yang menyertainya. Dari data Jatam, di Kalimantan Timur terdapat 4.464 lubang tambang dari 1.488 Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Lubang ini tersebar di wilayah seluas 5,4 juta hektare. Air yang menggenang di lubang bekas tambang ini sangat berbahaya karena memiliki ph 3,7 atau tergolong asam, dimana air baku ditetapkan memiliki ph normal 6-8.

Bisnis pertambangan di Kalimantan mulai bergairah ketika terjadi lonjakan harga batubara di pasar internasional pada sekitar tahun 2008. Pemerintah kabupaten dan kota di Kalimantan membuka kran perizinan tanpa pertimbangan daya dukung lingkungan, hingga sekitar separuh wilayah Kalimantan masuk wilayah pertambangan ini.

Presiden Joko Widodo sejak menjabat berupaya memperbaiki keadaan dengan mengalihkan kuasa perizinan ke gubernur. Pada gilirannya, Gubernur Kalimantan Timur telah menetapkan moratorium izin pertambangan. Namun lingkungan sudah telanjur rusak dan Kalimantan secara umum, kini sedang menuai dampak dari obral izin tambang itu.