Para ilmuwan memperingatkan mengenai gas emisi rumah kaca yang telah membawa peningkatan ukuran dan suhu pada perairan Indo-Pasifik, area perairan hangat terbesar di dunia.
Perairan tersebut membentang sekitar 9.000 mil di sepanjang khatulistiwa dan 1.500 mil dari utara ke selatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa area laut yang biasanya memiliki rata-rata suhu 28 derajat Celsius, namun kali ini mampu mencapai 30 derajat Celsius.
Sebagai perairan hangat, ia meluas dan daerah tersebut telah mengalami kenaikan permukaan laut tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Lima pulau kecil di Pasifik Selatan menghilang dan enam lainnya hancur karena gelombang pasang.
Dan karena air yang hangat mampu mendorong kelembaban dan udara panas untuk naik ke atmosfer, hal tersebut memberikan efek yang cukup signifikan pada cuaca di negara-negara yang ada di kawasan tersebut, dan memiliki risiko angin siklon yang parah.
Ukuran perairan telah terbukti terus mengalami perubahan dalam siklus 20 tahun, semakin besar dan hangat hingga kemudia mendingin kembali.
Para peneliti asal Korea Selatan, Australia, Kanada, dan Cina mengatakan bahwa secara keseluruhan laut hangat dengan suhu 0.3 Celsius, dan meningkatkan ukuran hingga sepertiga dalam kurun waktu 60 tahun.
Meskipun temperatur yang meningkat terdengar kecil, namun ukuran laut memiliki jumlah energi yang lebih luas.
Dalam sebuah jurnal Science Advance, tertulis bahwa Indo-Pacific Warm Pool (IPWP) merupakan wilayah perairan hangat terbesar di Bumi, memiliki curah hujan tertinggi, dan merupakan dasar dari sirkulasi atmosfer dan siklus hidrologi.
"Wilayah ini juga telah mengalami tingkat tertinggi di dunia dan dari kenaikan permukaan laut dalam beberapa dekade terakhir, dan menunjukkan peningkatan besar panas laut dan memberikan dampak yang besar pada negara-negara pulau kecil di kawasan itu."
Para peneliti membandingkan pengukuran suhu dengan simulasi iklim hingga menghasilkan kesimpulan bahwa gas rumah kaca menjadi penyebab terbesar dalam kenaikan intensitas IPWP dan ukurannya.
"Manusia dan perubahan dalam IPWP memiliki implikasi penting untuk dipahami dan mampu memberikan proyeksi terkait curah hujan monsunal dan frekuensi atau intensitas badai tropis, bahkan konsekunsi sosial ekonomi yang mendalam."
Profesor Seung - Ki Min , dari Pohang University di Korea Selatan , mengatakan kepada The Independent bahwa penelitian mereka menunjukkan hanya 12 sampai 18 persen dari pemanasan terjadi secara alami dengan sisa yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca .
Terlepas dari masalah kenaikan permukaan air, tenaga berlebih ini akan mampu meningkatkan keparahan yang dihasilkan dari badai besar.
"Kami mengharapkan intensifikasi siklon tropis karena anda memiliki area air hangat lebih besar dan meningkatnya temperatur berarti sumber energi yang lebih lagi," ujar Profesor Min.
Mereka juga menemukan bahwa perairan Samudera Hindia meluas lebih dari perairan Pasifik. Hal tersebut menybebkan curah hujan yang lebih tinggi di barat Samudera Hindia.
Namun hal tersebut justru cenderung mengakibatkan turunnya curah hujan di Asia Timur.