Mengulik Tradisi Memasang Pohon Natal, Siapa yang Memulainya?

By Sysilia Tanhati, Jumat, 24 Desember 2021 | 14:00 WIB
Perayaan Natal dikaitkan dengan kelahiran Yesus, namun pohon Natal tidak memiliki tempat dalam Kekristenan awal. (Jonathan Borba/Unsplash)

Nationalgeographic.co.id—Salah satu tradisi Natal adalah memasang pohon Natal. Menjelang hari raya umat Nasrani ini, pohon Natal dipasang di rumah, tempat ibadah, dan tempat-tempat umum lainnya seperti mal.

Pohon Natal merupakan fitur ikonik dari musim liburan. Simbol ini dapat ditemukan di kartu ucapan, iklan, kue, kertas kado, dan di rumah jutaan orang di seluruh dunia.

Memasang dan mendekorasi pohon Natal setiap tahun menambah keceriaan Natal. Namun apa makna di balik tradisi ini? Sejak kapan tradisi pemasangan pohon Natal dimulai?

Perayaan Natal dikaitkan dengan kelahiran Yesus, namun pohon Natal tidak memiliki tempat dalam Kekristenan awal. Pohon Natal bahkan tidak muncul sampai tahun 1605.

Tradisi ini pertama kali muncul di Jerman, dipopulerkan oleh Martin Luther. Ia adalah tokoh yang berpengaruh dalam reformasi Protestan. Luther konon terinspirasi oleh keindahan langit malam berbintang pada malam Natal.

Ia pun kemudian memutuskan untuk meniru keindahan langit di malam hari. Luther menebang pohon cemara dan meletakkan lilin menyala di atasnya sebagai simbol bintang. Tidak butuh waktu lama sampai rumah-rumah di Jerman didekorasi dengan permen, buah-buahan, dan mawar kertas setiap Natal. Kini lilin digantikan dengan lampu dekorasi yang bisa berkelap-kelip.

Meskipun hubungan antara pohon cemara dan Natal relatif baru, pohon ini dianggap penting sekitar 600 SM. Ketertarikan pada pohon cemara dapat ditelusuri kembali ke pemujaan dewa Matahari Mithras sekitar 600 SM. Dewa ini sering digambarkan di dalam atau di samping pohon yang selalu hijau.

Di Eropa Utara, pohon cemara menjadi simbol penting. Tumbuhan dan pepohonan yang tetap hijau sepanjang tahun memiliki tempat khusus bagi orang-orang kuno yang tinggal di ujung utara. Tumbuhan hijau ini dianggap penting di pada hari tergelap di sepanjang tahun, yaitu titik balik matahari musim dingin. Momen ini jatuh pada setiap tanggal 21 Desember di belahan bumi utara.

“Tumbuhan hijau abadi di festival pertengahan musim dingin adalah tradisi sejak zaman kuno. Ini menandakan kemenangan kehidupan dan cahaya atas kematian dan kegelapan,” tutur Carole Cusack, profesor studi agama di Universitas Sydney.

Maka tidak mengherankan jika mereka yang menyembah matahari sebagai dewa memiliki minat khusus pada pepohonan. Mereka percaya bahwa matahari telah menjadi sakit dan lemah selama musim dingin dan perlu dihidupkan kembali. Praktik menggantung dahan hijau di dalam dan di sekitar rumah mereka dipercaya membantu menghidupkan kembali matahari.

Orang-orang zaman dahulu menggantungkan dahan-dahan hijau di atas pintu dan jendela mereka. Di banyak negara diyakini bahwa pohon cemara akan mengusir penyihir, hantu, roh jahat, dan penyakit.

Baca Juga: Mengapa Ode to Joy Karya Beethoven Dijadikan Lagu Natal di Jepang?

Orang Mesir kuno menyembah dewa bernama Ra, yang berkepala elang dan menggunakan matahari di mahkotanya. Pada titik balik matahari, ketika Ra mulai pulih dari penyakitnya, orang Mesir memenuhi rumah dengan pohon palem hijau. Ini melambangkan kemenangan hidup atas kematian bagi orang Mesir Kuno.

Bangsa Romawi awal menandai titik balik matahari dengan pesta yang disebut Saturnalia untuk menghormati Saturnus, dewa pertanian. Bangsa Romawi tahu bahwa titik balik matahari menandakan pertanian dan kebun akan segera menjadi hijau dan berbuah. Untuk menandai kesempatan itu, mereka mendekorasi rumah dan kuil dengan dahan yang selalu hijau.

Pada abad ke-14 dan 15, pohon pinus digunakan dalam 'pertunjukan ajaib' di hari Natal di depan katedral seluruh Eropa. Presentasi ini menunjukkan kelahiran dan kejatuhan umat manusia, serta keselamatan melalui kematian dan kebangkitan Yesus. Pohon-pohon yang digunakan dalam drama ini dihiasi dengan apel dan dihubungkan dengan Pohon Kehidupan di Taman Eden.

Baca Juga: Evolusi Pasar Natal di Jerman, Sempat Dijadikan Alat Politik Nazi

Drama ini pun akhirnya dilarang oleh gereja. Tetapi tradisi menghias pohon Natal menyebar ke seluruh dunia dan berlanjut hingga kini.

Di tahun 1964, alih-alih menggunakan pohon asli, pohon cemara buatan pun mulai digunakan. Pohon ini terlihat realistik juga tahan lama, dengan segera mendominasi pangsa pasar.

Perubahan iklim turut menjadi penyebab banyak orang beralih ke pohon plastik. Kondisi ini membuat pohon lebih sulit tumbuh, dibutuhkan waktu sekitar tujuh hingga delapan tahun untuk menumbuhkan pohon cemara. Tentunya ini tidak menguntungkan para petani, sehingga banyak dari mereka yang keluar dari bisnis ini.

Lima dekade yang lalu, seorang profesor di Montreal berusaha menciptakan pohon cemara hidup yang lebih tahan lama. Ia berharap dapat melestarikan tradisi penggunaan pohon cemara asli untuk Natal. “Kita hidup di tengah lingkungan yang artifisial, pohon cemara asli adalah beberapa hal asli yang tersisa,” tuturnya.

Baca Juga: Piet Hitam Si Pembantu Sinterklas, Rasisme dalam Budaya Natal Belanda