Potret Buram Semangat Bahari Anak Kampung Nelayan Banyuwangi

By , Sabtu, 23 Juli 2016 | 21:00 WIB

Dalam benak anak-anak, laut bukanlah kehidupan. Padahal, Muncar dikenal sebagai sentra usaha perikanan. Di sini berjajar pabrik pengalengan ikan, pembuatan tepung, ataupun perusahaan gudang berpendingin (cold storage).

Mujinas Al Mudji Haryani, guru kelas III, mengatakan, sekolahnya sempat menerapkan Kurikulum 2013. Saat itulah, sekolah mulai melirik daerah pesisir sebagai sumber belajar. Anak-anak mulai diajak keluar kelas untuk mengenal jenis-jenis ikan, terumbu karang, ataupun hutan mangrove.

Di kalangan nelayan tradisional pesisir Banyuwangi, sekolah pendidikan formal bukan jaminan hidup lebih baik. "Sekolah tak memberikan jaminan hidup sukses sebagai nelayan," kata Ridiyanto (45), nelayan yang dikenal juga sebagai juragan.

Kebetulan, saat itu David Heryawan (27) dan Andre Prasetyo (28), dua anak buah Ridiyanto, berada di dekatnya. Keduanya merupakan anak putus SD yang tidak fasih membaca dan menulis.

"Di atas kertas saya tidak bisa menghitung, tetapi saya bisa menghitung uang," kata Andre.

Pandangan beragam

Nelayan memiliki kacamata beragam dalam memandang pendidikan, terlepas itu formal ataupun nonformal. Di bagian pesisir Banyuwangi lainnya, tepatnya di Bangsring, ditemukan perspektif lain. Sukirno (41), nelayan penangkap ikan hias untuk dijual ke Bali, memandang pendidikan sebagai jalan mencapai kehidupan lebih baik. Sukirno bersama beberapa nelayan Bangsring pada 2008 akhirnya membuat kelompok Samudera Bahari, yang hingga sekarang terus mengupayakan perbaikan terumbu karang di Pantai Bangsring.

Kelompok nelayan ini terlibat dalam berbagai kegiatan konservasi, misalnya pencangkokan terumbu karang. Sumber pencarian para nelayan sedikit demi sedikit bergeser pada usaha wisata. Terbuka peluang nafkah alternatif di saat paceklik.

Pada 2014, kelompok nelayan ini mendapat bantuan rumah apung oleh pemerintah pusat. Saat ini, rumah apung itu memiliki beberapa jaring untuk karamba apung yang menampung sembilan ikan hiu kecil. Ini menjadi daya tarik wisata.

Dengan sentuhan pendidikan, wawasan nelayan itu terbuka luas. Mereka menjaga laut sebagai mata pencarian.

(Versi asli artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Mei 2016, di halaman 1 dengan judul "Ketika Laut Menjauh dari Imajinasi")