Kanker Tertua Ditemukan di Fosil Berusia 1,7 Juta Tahun

By , Sabtu, 30 Juli 2016 | 18:00 WIB

Satu hal yang para ilmuwan ketahui: Penyakit itu sangat menyiksa, mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk berjalan atau berlari.

Target yang bergerak

Selain jari kaki, tim juga menganalisis fosil yang lebih tua, dengan tumor jinak. Dalam studi lain di jurnal yang sama, tim mendeskripsikan pertumbuhan tumor pada vertebrata dari kerangka remaja Australopithecus sediba berusia 1,98 juta tahun. Kerangka itu ditemukan oleh peneliti National Geographic, Lee Berger di situs Malapa, beberapa mil jauhnya dari Swartkrans. Sebelum penemuan ini, tumor jinak tertua yang diketahui tumbuh pada tulang rusuk Neanderthal berusia 120.000 tahun yang digali di Kroasia.

Para ilmuwan melihat bahwa tumor jinak yang ditemukan di Malapa sebagai bukti pendukung lanjutan atas keberadaan tumor ganas di antara kerabat pendahulu kita.

“Tumor merupakan pertumbuhan baru tulang atau jaringan, yang memiliki skala jinak hingga ganas,” ujar paleoantropolog Patrick S. Randolph-Quinney, salah satu ilmuwan yang melakukan penyelidikan.

Ia menambahkan, “Pada skala jinak, ada mekanisme yang membuat mereka terkendali, sehingga mereka bisa membatasi diri, atau mereka mencapai ukuran tertentu dan tetap di satu tempat. Sedangkan kanker, ialah perluasan dari proses pertumbuhan tanpa mekanisme kontrol.”

Tim juga melihat penemuan mereka sebagai pengingat penting bahwa kanker adalah target yang bergerak. Garis keturunan kuno memberkahi kita gen yang berkemampuan menghasilkan kanker, tetapi penyakit ini mewujudkan dirinya dalam berbagai cara ketika kita terpapar perubahan-perubahan dalam lingkungan kita.

Misalnya saja, kanker perut menjadi lebih umum sampai akhir abad ke-19, kemungkinan karena zat karsinogen yang terkandung dalam pengawet makanan. Saat ini, kanker usus terus meningkat, kemungkinan karena menu makanan yang tinggi akan lemak jenuh.

“Lingkungan eksternal modern ‘melakukan sesuatu’ pada lingkungan internal yang tak pernah dialami sebelum sejarah evolusi kita,” pungkas Odes.