Nationalgeographic.co.id—Energi seismik dari Bumi dapat membangkitkan getaran pada gunung-gunung besar secara terus-menerus, meskipun gunung-gunung tersebut tampak tak tergoyahkan. Amplifikasi energi seismik pada topografi terjal telah memainkan peran penting dalam mengendalikan lokasi longsor akibat gempa.
Pegunungan Alpen mewakili topografi yang ekstrim. Oleh karena itu amplifikasi yang signifikan dapat diantisipasi. Namun, data relevan yang diperlukan untuk menyelidiki batas efek topografi di lokasi ini masih jarang.
Sebuah tim peneliti internasional kini telah mampu mengukur goyangan resonansi Matterhorn di Pegunungan Alpen Swiss dan membuat gerakannya terlihat menggunakan simulasi komputer.
Matterhorn muncul sebagai gunung besar yang tak tergoyahkan, menjulang di atas lanskap dekat Zermatt selama ribuan tahun. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters pada 22 Desember 2021 berjudul Spectral amplification of ground motion linked to resonance of large-scale mountain landforms, telah menunjukkan bahwa kesan ini salah. Sebuah tim peneliti internasional telah membuktikan bahwa Matterhorn malah terus-menerus bergerak, berayun dengan lembut ke depan dan ke belakang sekitar sekali setiap dua detik. Getaran halus dengan amplitudo yang biasanya tidak terlihat ini dirangsang oleh energi seismik di Bumi yang berasal dari lautan dunia, gempa bumi, dan aktivitas manusia.
“Pergerakan bawah tanah menyebabkan setiap objek bergetar, yang untungnya tidak dapat kita rasakan, tetapi dapat dideteksi dengan alat ukur yang sensitif,” tegas Donat Fäh dari Swiss Seismological Service di ETH Zurich.
Apa yang disebut frekuensi alami ini terutama bergantung pada geometri objek dan sifat materialnya. Fenomena ini juga terlihat pada jembatan, gedung bertingkat, bahkan gunung.
“Kami ingin tahu apakah getaran resonansi seperti itu juga dapat dideteksi di gunung besar seperti Matterhorn,” kata Samuel Weber. Dia melakukan studi selama periode pascadoktoral di Universitas Teknik Munich (TUM) dan sekarang bekerja di Institut WSL untuk Penelitian Salju dan Longsor SLF. Dia menekankan bahwa kolaborasi interdisipliner antara peneliti di Layanan Seismologi Swiss di ETH Zurich, Institut Teknik Komputer dan Jaringan Komunikasi di ETH Zurich, juga Kelompok Riset Geohazard di Universitas Utah (AS) sangat penting untuk keberhasilan proyek ini.
Para ilmuwan memasang beberapa seismometer di Matterhorn untuk penelitian, termasuk satu langsung di puncaknya tepat di ketinggan 4.470 meter di atas permukaan laut dan satu lagi di bivak Solvay, tempat perlindungan darurat di punggungan timur laut, lebih dikenal sebagai Hörnligrat.
Stasiun pengukur lain di kaki gunung berfungsi sebagai referensi. Pengalaman luas dari Jan Beutel (ETH Zurich / University of Innsbruck) dan Samuel Weber memasang peralatan untuk mengukur pergerakan batuan di pegunungan tinggi ini memungkinkan jaringan pengukuran. Data secara otomatis dikirimkan ke Layanan Seismologi Swiss.
Seismometer merekam semua gerakan gunung pada resolusi tinggi, sehingga tim dapat memperoleh frekuensi dan arah resonansi. Pengukuran menunjukkan bahwa Matterhorn berosilasi secara kasar dalam arah utara-selatan pada frekuensi 0,42 Hertz dan dalam arah timur-barat pada frekuensi yang sama kedua (lihat animasi). Pada gilirannya, dengan mempercepat pengukuran getaran sekitar 80 kali, tim mampu membuat lanskap getaran Matterhorn terdengar ke telinga manusia, menerjemahkan frekuensi resonansi menjadi nada yang terdengar. Luar biasa!
Jeff Moore dari University of Utah, yang memprakarsai studi tentang Matterhorn, menjelaskan, ”daerah gunung yang mengalami gerakan tanah yang diperkuat cenderung lebih rentan terhadap tanah longsor, runtuhan batu, dan kerusakan batu bila diguncang gempa kuat.”
Getaran seperti itu bukanlah kekhasan Matterhorn, dan tim mencatat bahwa banyak gunung yang diperkirakan akan bergetar dengan cara yang sama. Para peneliti dari Layanan Seismologi Swiss melakukan eksperimen pelengkap di Grosse Mythen sebagai bagian dari penelitian.
Baca Juga: Sains Terbaru, Ilmuwan Ungkap Bumi Kita Mungkin Punya Lapisan Kelima
Puncak di Swiss Tengah ini mirip dengan Matterhorn tetapi secara signifikan lebih kecil. Seperti yang diharapkan, Grosse Mythen bergetar pada frekuensi sekitar empat kali lebih tinggi daripada Matterhorn karena objek yang lebih kecil umumnya bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi. Para ilmuwan dari Universitas Utah kemudian dapat mensimulasikan resonansi dari Matterhorn dan Grosse Mythen di komputer yang membuat getaran resonansi ini terlihat.
Sebelumnya, para ilmuwan AS terutama meneliti benda-benda yang lebih kecil, seperti lengkungan batu di Taman Nasional Arches, Utah. “Sangat menyenangkan melihat bahwa pendekatan simulasi kami juga berfungsi untuk gunung besar seperti Matterhorn dan data pengukuran mengonfirmasi hasilnya,” kata Jeff Moore.
Baca Juga: 1.300 Tahun yang Lalu Pangandaran dan Cilacap Sempat Dilanda Tsunami