Melindungi Jejak Perang Dunia II di Pulau Morotai

By , Rabu, 3 Agustus 2016 | 21:00 WIB

"Demi nanga ngopa denanga dano,

Mitagi-tagi mimas didiki,

Mima idu mimas gogorena,

Sioko...ooo.ooo.dedengomi"

(Demi anak dan cucu kita,

Di saat kami berjalan, kami jadikan sebagai kontak,

Di saat kami tidur, kami jadikan sebagai pantai,

Kasihanlah.ooo...ooo...dengan kami)

Syair pengharapan agar diberi kemudahan perjalanan itu disenandungkan Muhlis Eso (36), penggiat sejarah di Pulau Morotai, Maluku Utara, saat mendaki Bukit 40, Minggu (17/7).

Meski badannya meriang, langkahnya mantap menyusuri tanjakan becek dan jalan setapak yang penuh ilalang. Semak rimbun berduri bukan halangan.

Hujan deras yang mengguyur dan koyo yang menempel di kedua pelipis tak menyurutkan langkahnya untuk terus berjalan sambil bercerita tentang sejarah Perang Dunia (PD) II di Morotai. Saat beberapa wisatawan yang dia dampingi mulai kelelahan, tenaga Muhlis justru seperti bertambah.

"Kalau meriang, obatnya harus masuk hutan seperti saat ini," katanya sambil tersenyum.

Kala itu, untuk kesekian kalinya Muhlis mendaki Bukit 40 (Hill 40), tempat berlangsungnya pertempuran besar-besaran antara pasukan Sekutu dan Jepang yang berakhir dengan penyerahan kekuasaan tentara Jepang ke Sekutu, 9 September 1945.

Dari puncak bukit setinggi sekitar 500 meter di atas permukaan laut, bagian selatan Pulau Morotai dan Selat Morotai terlihat jelas. Untuk mencapainya butuh 2,5 jam perjalanan dari Daruba, ibu kota Kabupaten Pulau Morotai. Perjalanan itu ditempuh dengan mobil selama setengah jam dan dilanjutkan berjalan kaki.