Menuju Revolusi AI: Jangan Jadikan Anak Kami Bangsa Robot

By , Rabu, 3 Agustus 2016 | 18:00 WIB

Dalam permainan itu, Deep Mind menggunakan “deep learning”, sebuah bentuk kecerdasan artifisial yang menggunakan banyak algorithma sehingga sebuah komputer bisa mensimulasikan jaringan syaraf manusia yang bisa belajar melalui pengalaman.

Sejak momen itu, banyak ahli AI yang berpendapat bahwa kecerdasan artifisial (AI) akan banyak dijumpai dalam kehidupan manusia dalam jangka waktu 20 tahun ke depan.

Seperti dikutip dalam artikel di majalah Nature, “Tomorrow’s World”,  Daniela Rus, Kepala Laboratorium Ilmu Komputer dan Kecerdasan Artifisial (AI) di MIT, mengatakan bahwa kita tak lama lagi berada di dunia “dimana semua orang bisa mempunyai robot dan banyak robot akan ditemukan dalam segala lini kehidupan,”

Lalu bagaimana Indonesia menyikapi hal ini?

Seperti yang dijelaskan di atas, kemajuan AI berdampak pada banyaknya pekerjaan yang diambil alih oleh AI (automation) sehingga akan ada banyak orang yang kehilangan pekerjaan.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak tenaga kerja dengan upah rendah yang bekerja di berbagai pabrik besar. Jika tugas-tugas dalam pabrik sudah diambil alih oleh AI, darimanakah mereka bisa mendapatkan uang?

David Autor,seorang  ekonom dari MIT, mengatakan bahwa dampak negatif AI yang paling besar dialami oleh negara berkembang karena ekonomi mereka banyak mengandalkan barang murah yang dibuat oleh buruh dengan upah yang rendah.

Jika negara maju bisa memenuhi kebutuhan barang mereka dengan teknologi AI yang mereka miliki, maka negara maju tidak lagi memerlukan ekspor dari negara berkembang.

Di lain pihak, hampir semua paten teknologi AI dimiliki oleh negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, ataupun Eropa. Sementara kita?

Tahun ini kita masih baru memulai riset ilmu dasar yang didanai oleh Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), sebelumnya ilmu pengetahuan dan teknologi kita masih berkutat dalam masalah pendanaan yang minim dan infrastruktur yang lemah.

Dalam hemat saya, Indonesia saat ini harus melakukan “Revolusi Pendidikan” sebagai langkah persiapan. Apa yang diarahkan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Pendidikan yang baru bukanlah langkah yang tepat.

Ketenagakerjaan bukanlah esensi dari pendidikan, apalagi di masa sekarang dimana pekerjaan bisa digantikan oleh AI ataupun robot.

Hal yang terpenting adalah bagaimana mendidik anak kita agar memiliki karakter manusia yang kompeten. Misalnya saja manusia yang visioner, mempunyai jiwa kepemimpinan yang tangguh,  rasa ingin tahu yang kuat, mencintai belajar,  ataupun pandai bersosialisasi. Karakter-karakter ini bukanlah sesuatu yang mudah digantikan oleh robot. 

Semoga Presiden Joko Widodo dan juga para pengambil kebijakan di negeri ini mempertimbangkan hal ini dalam strategi pendidikan negara kita. Anak-anak yang kita didik hari ini adalah mereka yang menjadi “pekerja” 20 tahun yang akan datang. 

Akankah kita siapkan mereka seperti robot? Atau menjadi manusia pengatur dan pencipta robot?